bukan wartawan
Senin, 20 Agustus 2012
Balada Punk Jalanan
Siang itu sama seperti kemarin dan kemarinnya lagi. Panas, penuh keringat, dan tidak lupa lirikan sinis orang-orang di sekitar Kota Tua.
Billy tidak peduli. Matanya disembunyikan rapat-rapat dibalik kaca mata riben, seiring langkah kakinya menuju stasiun Kota.
Diinjaknya segala tetek bengek kotoran jalanan dengan sepatu boot-nya. Tatto disekujur tangannya menyapa setiap jengkal gedung tua di sana. Lantas bus kota menyembur asap kelam kehidupan ke muka Billy.
“Berengsek, bus biadab, nggak pernah sekolah itu bus!!! Supir dan keneknya juga!!!,” maki Billy. Sementara tukang ojek sepeda hanya menahan tawa. Lalu menyulut rokok kretek sisa tadi pagi.
Hari itu Billy punya rencana. Rencananya main ke markas anak punk di Jakarta Selatan. Naik kereta ekonomi jurusan Kota-Bogor, turun di Lenteng. Tiket kereta tiga ribu perak, setara ngamen setengah jam di bus kota.
Di stasiun yang ramai, Billy merasa bagaikan debu. Kedengkiannya atas tatap sinis orang-orang, bikin Billy merasa seperti itu.
“Hei, kamu punya tiket nggak?,” tanya petugas di gerbang peron.
Tangan Billy lalu merogoh tiket kantung jeansnya. Hampir saja tiket robek. Lalu diberikan ke petugas. “Nih!!” Billy lantas masuk peron.
Kejengkelan tak berhenti sampai di situ. Di dalam kereta, Billy sudah siap jadi ikan dalam oven. Maklum itu jam pegawai pulang kerja. Para komuter berhimpitan ingin pulang menuju Depok atau Bogor.
Billy santai saja. Petantang petenteng. Bukan sok jagoan, tapi memang perawakannya demikian santai, malah cenderung peduli amat!
Dari Stasiun Kota, kereta harus melalui tujuh buah stasiun untuk sampai di Stasiun Lenteng. Kira-kira waktu tempuhnya 30 menit.
Semakin jauh jalannya kereta, semakin banyak pula manusia yang naik. Jangankan duduk. Bergerak pun tidak bisa lagi, bak ikan dalam oven!!
“Setan alas!” seru Billy saat mendapati lima pria di sekitarnya melirik tajam.
Billy kesal bukan kepalang. Bukan apa-apa, di kereta biadab penuh manusia itu, seluruh tangan penumpang memegang tiang di atap kereta.
Kemudian bau ketiak pun muncul. Dan yang paling bikin Billy jengkel, dia merasa dituding sebagai penyebab bau ketiak!
“Apa liat-liat gua!!” teriak Billy. Orang-orang pun mengalihkan pandangan.
“EHEM!!” suara keras muncul dua kaki di belakang Billy.
Billy menoleh. Rupanya suara pria kekar berbalut seragam loreng khas tentara.
‘Sialan, beraninya pakai seragam,’ batin Billy. Ingin rasanya dia jadi personel dragon ball, lalu menghujam satu gerbong penuh orang dengan kamehameha sampai atap kereta bolong. Tapi apa daya.
Tapi akhirnya sampai juga dia di Stasiun Lenteng. Billy harus sikut sana sini untuk bisa turun.
Yang disikut tentu balik menyikut. Malahan ada yang menepuk pantat tepos Billy. ‘Poh,’ bunyi tepukan itu. Yang ditepuk buru-buru melompat.
“Bedebahhh kalian semua!!! Tidak tahu sopan santun sesama umat manusia!!!,” Billy teriak kencang-kencang setelah berhasil turun ke peron.
Pria berseragam loreng di dalam kereta tiba-tiba terlihat kesal, sambil mengacung-ngacungkan tinjunya dari dalam gerbong kereta yang kembali bergerak ke arah Depok.
Keluar dari Stasiun Lenteng, Billy pun sangat ingin merokok. Rokok kretek. Bukan karena rasanya enak, tapi karena lebih lama habisnya, jadi hemat!!
“Pak beli rokok,” kata Billy.
“Berapa?” kata bapak-bapak empunya warung depan stasiun.
“Sebatang lah. Emangnya tampang kayak saya bisa beli sebungkus??” jawab Billy sekenanya.
“Kali aja lu abis nyopet!” kata bapak-bapak sinis sambil menyodorkan rokok kretek sebatang kara.
Billy lantas menyulut rokok dengan korek yang sudah menggantung di depan warung.
Saat merogoh kantong, dompet pun lenyap. Dompet busuk Billy yang berisi uang lima belas ribu perak hilang entah ke mana.
“Mati gua!” kata Billy.
“Kenapa lu?” tanya di bapak.
“Dompet saya dicopet paaak!!” kata Billy.
Si bapak, jelas sekali tidak percaya dengan Billy. Di benak si bapak, mana mungkin ada orang yang berani mencopet berandal tengik macam Billy. Toh kalau mencopet pun tidak ada uangnya, paling-paling kertas bon utang!
“Dasar kurang ajar lu. Kalau kagak punya uang, kagak usah berlaga beli rokok lu!!” si bapak kesal bukan kepalang. Dilemparnya roti sobek isi coklat ke wajah Billy. Tapi dengan sigap Billy menangkap, lantas kabur tunggang langgang menyeberang jalan.
“GUA SUMPAHIN LU SIAL SEUMUR IDUP!!” teriak si bapak.
Billy terus saja berlari tunggang langgang tanpa menoleh menuju markas anak-anak punk.
Sesampainya di markas, Billy berpikir keras atas dompetnya yang hilang. Ingat punya ingat, dompet Billy dicopet saat turun kereta tadi. Pencopetnya yang menepuk pantat tepos Billy dengan bunyi ‘Poh’. Ngeek. Sekian.
Senin, 14 November 2011
Pemuda Rantau
Jakarta, pantauan udara!
Sabtu pagi yang cerah di Jakarta. Cahaya matahari berpantulan di gedung-gedung pencakar langit yang ditinggal liburan pekerjanya. Burung-burung hinggap di patung-patung pahlawan berusia puluhan tahun, bersantai, berkerumun, dan buang hajat.
Sementara itu, konsentrasi massa terlihat di seputaran terminal. Beberapa diantaranya menuju tempat wisata murah meriah. Sebagian lainnya, pilih pulang kampung, entah ke Tangerang, Bekasi, Depok, atau Sukabumi.
Pemandangan lain, di wilayah Cirendeu, pinggiran Jakarta. Bambang masih lelap tidur disempilan gang kecil, kos-kosan yang disewanya. Kakinya dikerubungi lalat. Lalat sampah, hijau mengkilap.
Dasar Bambang malas! Padahal diujung gang sempit kosan Bambang, tukang gorengan sudah beraktifitas. Bunyi penggorengannya krieng krieng. Aroma plastik goreng pekat tersamar wangi tepung. Rejeki Bambang pun terancam dipatok ayam.
Harusnya, sekarang Bambang sudah di terminal, mengantri tiket bis super murah tujuan Sukabumi. Bambang mau pulang ke rumah emak. Maklum pemuda rantau.
“Dik Bambang..permisi,” kata Ibu Yani, pemilik kosan mengetuk pintu kamar Bambang. “Dik Bambang..”
Merasa terusik. Bambang akhirnya bangun. “Oh ibu, ada apa ya,” tanya Bambang usai buka pintu.
“Maaf dik Bambang, cuma mau ngingetin, uang kosan bulan kemarin sama bulan ini apa sudah bisa dibayar?” tanya Ibu Yani.
“Yaampun, iya bu, saya lupa..kemarin saya udah mau ke ATM ambil uang, tapi nggak bisa. Uangnya di ATM habis,” kata Bambang sembari memelas. Alasan klasik.
Ibu Yani cemberut. Ini kedua kalinya dia tagih Bambang. Hasilnya nihil lagi. “Gini dik Bambang..kemarin ada mahasiswa, dia mau kos di sini. Katanya rumahnya di Bandung. Gimana ya, apa ibu kasih aja kamar dik Bambang ke dia?”
“Oh jangan bu..jangan... sebentar saya ambil uang dulu di dompet,” kata Bambang yang tak bisa berkelit. Uang kos Rp 500 ribu, dua bulan, pindah tangan.
“Dasar asem,” batin Bambang. Sudah bangun kesiangan, uang ongkos ke Sukabumi diambil Ibu kos.
Bambang akhirnya mandi. Tidak lupa sarapan gorengan plastik. Lalu bablas ke terminal, ambil uang lalu lanjut ke Sukabumi.
Modal Bambang pulang kampung tidak banyak. Sendal jepit, kaos oblong tanah abang, hape blekberi, dan uang Rp 500 ribu. Cukup lah buat bergaya di kampung plus tipu-tipu gadis Sukabumi. Dasar buaya.
Bambang pun sampai di Terminal Kampung Rambutan. Suasana ramai, khas terminal. Bau pesing, bau oli, bau asap knalpot, campur aduk! Dan waktu sudah menunjukkan pukul satu siang. Buru-buru Bambang ambil uang.
Baru mau masuk ATM, Bambang ditegur orang. Badannya besar, mirip Hercules. “Hey kawan, lepas lah dulu topeng kau itu kalau mau masuk ATM,” ujar si badan Hercules.
Bambang bengong, seraya menjawab, “Maaf bang, ini muka asli bukan topeng.”
“Oh, yasudah, cepat lah kau ambil uang,” kata si badan Hercules sambil lalu.
Usai ambil uang, Bambang beli tiket. Lalu ada pedagang obat kuat, “Bos obat kuat bos, dijamin tokcer, tahan sampai pagi!”
Bambang bengong lagi. “Enggak mas. Makasih,” tolak Bambang polos. Tiket pun dibeli.
Lalu, “SUKABUMI..SUKABUMIII,” kenek bis teriak-teriak. Bambang lari-lari kecil. Masuk bis.
Bambang duduk di tengah, samping jendela. Biar bisa lihat pemandangan sepanjang jalan, plus beli camilan tahu sumedang kegemaran dia.
Beruntung. Cewek cantik naik bis, duduk sebelah Bambang. Cuma lima detik, ceweknya pindah kursi. Keberuntungan Bambang cuma lima detik!
Kenapa si cewek pindah tempat duduk? Hanya dia dan tuhan yang tahu. Perkiraannya, pertama, karena Bambang jelek. Kedua, karena rupa Bambang lebih mirip tukang hipnotis ketimbang orang yang mau pulang kampung. Ketiga, Bambang bermuka mesum.
Sekarang, yang tersisa di sebelah Bambang cuma aroma parfum si cewek, menggelorakan aroma apek bis antar provinsi. Waktu pun tepat pukul dua siang, bis beranjak pergi. Langsung via tol, menuju Sukabumi. Laporan cuaca Jakarta dikabarkan berawan. Semoga Bambang tidak mencopet. Demikian pantauan udara, siang hari ini.
Selasa, 11 Oktober 2011
Kamis, 25 Agustus 2011
Saya masih hidup
Hidup yang penuh liku
Dihadiri sekelumit amarah
Bibir yang selalu membisu
Gadis yang ada di cerita saya
Semuanya nyata
Tuhan
Saya ingin kedamaian
Seperti siang gerimis, yang diteteskan genting
Kata-kata yang terlontar
Menyeruakkan tangis
Tuhan
Saya ingin kedamaian
Seperti angin, yang dihempaskan padang
Denyut nadi
Nafas
Tuhan
Saya masih hidup :)
Dihadiri sekelumit amarah
Bibir yang selalu membisu
Gadis yang ada di cerita saya
Semuanya nyata
Tuhan
Saya ingin kedamaian
Seperti siang gerimis, yang diteteskan genting
Kata-kata yang terlontar
Menyeruakkan tangis
Tuhan
Saya ingin kedamaian
Seperti angin, yang dihempaskan padang
Denyut nadi
Nafas
Tuhan
Saya masih hidup :)
Langganan:
Postingan (Atom)