Rabu, 23 Desember 2009
Kecoak terbang!
POSTINGAN kali ini tentang kecoak!! Kenapa?? Simple saja. Karena saya baru lihat kecoak!! hahaha sinting lagi kan..
Iya saya lihat kecoak di rumah teman. Biasa saja. Di rumah saya pun ada. Masalahnya kala itu di rumah teman saya malah jadi membahas kecoak Indonesia sama kecoak Amerika! Makin gila kan.. Tapi toh karena begitu saya dapat ide menulis! #Halah
Kecoak yang saya, eh kami lihat, itu kecoak terbang! Seperti biasa, kecoak Indonesia warna coklat buluk. Lantas teman saya bilang, kira-kira begini, "Kok kecoak Indonesia beda sama kecoak Amerika ya? Kecoak Amerika lebih gede gitu, bagus.."
Saya: "Iya ya.. Yang di Amerika itu bukannya kecoak Afrika ya, yang bisa di makan itu?"
Teman saya: "Iya gak kaya kecoak Indonesia jelek."
Saya: "Kecoak di sana garis-garis gitu kan."
Teman saya: "Iya.. Oh mungkin sama kaya manusia. Bule lebih keren dari pada Indonesia. Kecoak bule juga lebih keren dari kecoak Indonesia. Coklat dekil."
Saya: "Iya. Hahaha. (aseem, kenapa bule selalu diindentikan lebih keren!!!)"
Bodoh nian, pembicaraan kecoak bule dan kecoak Indonesia! Tapi andai saja kecoak bule dan kecoak Indonesia dipertemukan mungkin akan ada pembicaraan seperti ini:
Kecoak bule: "Hallo"
Kecoak Indonesia: "Oh hai"
Kecoak bule: "Apa kabar?"
Kecoak Indonesia: "Baik baik"
Kecoak bule: "Badan kamu dekil banget sih."
Kecoak Indonesia: "Ah masa sih?? Gak apa-apa deh yang penting saya bisa terbang!"
Kecoak bule: "Ah belagu. Kecoak kaya saya biasa di makan manusia di acara Fear Factor. Kamu enggak.."
Kecoak Indonesia: "Ah sombong!"
Kecoak bule: "Badan saya lebih gemuk dari kamu! Kamu mainnya juga di got!"
Kecoak Indonesia: "Biarin! Dari pada kamu, kecoak tapi coraknya garis-garis mirip lipan!"
Gila! Miring!
Eniwei. Sesaat usai bicara kecoak, eh kecoaknya malah pergi. Kabur entah ke mana. Mungkin dia mau santai-santai di got!
Satu hal yang paling saya benci dari kecoak terbang. Dia terbang tak pernah jelas. Kiri kanan depan belakang atas bawah! Malah lebih sering terbang ke arah manusia! Gembel itu kecoak! Kecoak bodoh. Made in Asia. Kalau di injak mejret, banyak airnya pula!
Kalau saya mau jadi cicak dan nyamuk di postingan sebelumnya. Saya ogah jadi kecoak di postingan kali ini. Sudah ah, nanti saya sinting beneran.. Hehe..
Selasa, 22 Desember 2009
Batuk berdarah
SETIAP pekerjaan mempunyai kelebihannya masing-masing kawan. Even itu pekerjaan yang di anggap rendahan macam kerja otot. Namun, tiap pekerjaan yang di ambil, mempunyai tujuan garis besar yang sama. Ya untuk menyambung hidup! Lantas bagaimana jika pekerjaan justru menyakiti anda? I mean secara tidak langsung membuat penyakit lama anda semakin menjadi-jadi?
Saya sakit batuk kawan. Biasanya kalau sudah batuk begini, sembuhnya bakal lama. Dan benar saja, sejauh ini sudah dua pekan saya lewati dengan batuk-batuk.
Yang paling menyedihkan dari batuk saya yaitu berdarah. Iya kalau sudah menginjak dua pekan batuk saya bakal berdarah!! Cukup bikin saya stress juga. Tapi memang dasar bandel. Saya urung ke dokter!
Pekerjaan ini memaksa saya hanya libur sekali selama seminggu. Bahkan tak jarang malah tanpa libur. Tapi ini konsekuensi yang sudah saya tanda tangani dalam otak sejak awal sesi wawancara kerja saya di kantor 11 bulan silam. Waktu itu saya diperingatkan pewawancara, bahwa pekerjaan saya nanti akan jarang menemukan waktu libur. Toh saya iyakan karena sangat logis, mengingat pekerjaan 'ini to inform'. Dan peristiwa tetap akan terjadi meski weekend sekalipun. Ya sudah saya nikmati saja pekerjaan ini sampai akar-akarnya.
Batuk oh batuk. Berdarah pula. Saya sempat pikir-pikir, darah bisa sembuh dengan alkohol. Saya jadi mau mampir ke CK atau 7 Eleven beli pilsener atau Heineken. Tapi apa iya batuk darah saya karena luka di leher?! Ah pikiran bodoh!
Hari ini hujan. Saya harus liputan lagi. Batuk hanyalah batuk. Karena tugas tak bisa di tunda. Semoga darahnya cepat berhenti ya kawan... RJ
Saya sakit batuk kawan. Biasanya kalau sudah batuk begini, sembuhnya bakal lama. Dan benar saja, sejauh ini sudah dua pekan saya lewati dengan batuk-batuk.
Yang paling menyedihkan dari batuk saya yaitu berdarah. Iya kalau sudah menginjak dua pekan batuk saya bakal berdarah!! Cukup bikin saya stress juga. Tapi memang dasar bandel. Saya urung ke dokter!
Pekerjaan ini memaksa saya hanya libur sekali selama seminggu. Bahkan tak jarang malah tanpa libur. Tapi ini konsekuensi yang sudah saya tanda tangani dalam otak sejak awal sesi wawancara kerja saya di kantor 11 bulan silam. Waktu itu saya diperingatkan pewawancara, bahwa pekerjaan saya nanti akan jarang menemukan waktu libur. Toh saya iyakan karena sangat logis, mengingat pekerjaan 'ini to inform'. Dan peristiwa tetap akan terjadi meski weekend sekalipun. Ya sudah saya nikmati saja pekerjaan ini sampai akar-akarnya.
Batuk oh batuk. Berdarah pula. Saya sempat pikir-pikir, darah bisa sembuh dengan alkohol. Saya jadi mau mampir ke CK atau 7 Eleven beli pilsener atau Heineken. Tapi apa iya batuk darah saya karena luka di leher?! Ah pikiran bodoh!
Hari ini hujan. Saya harus liputan lagi. Batuk hanyalah batuk. Karena tugas tak bisa di tunda. Semoga darahnya cepat berhenti ya kawan... RJ
Jumat, 18 Desember 2009
Nyamuk
WAH tiba-tiba saya jadi mau menulis. Tapi tulis apa yah. Ya sudahlah tulis apa saja. Seperti biasa saya enggak peduli ada pembacanya atau tidak.
Tapi saya percaya. Setiap tulisan dibuat untuk di baca. Jadi ya saya tulis sendiri. Ya baca sendiri juga. Hahaha.. Sinting nian saya malam ini. Tapi tak apa lah.
Dari pada tak terbaca.
Saya masih berada di kamar 4x6 meter. Masih dengan penyakit insomnia berkepanjangan. Dan tulisan kali ini pun masih saya gunakan untuk berusaha menghancurkan mainstream tulis menulis.
Tak ada cicak malam ini. Cuma ada nyamuk. Jadi saya bicara nyamuk saja! Aha! #dapatangin
Nyamuk rumah saya ganas-ganas loh. Tiap hari jadi donor darah, saya dibuatnya! Bangke! Bangke segala bangke! Bangke yang paling bau! Kata Eno Lerian sih karena saya malas bersih-bersih. Emang iya.
.
Omong-omong tentang nyamuk. Filosofi nyamuk itu menyebalkan juga! Menghisap darah sebanyak-banyaknya hari ini, esok pagi siapa yang tahu. Untung-untung enggak "hap lalu ditangkap"!
Omong-omong tentang nyamuk. Yang hisap darah cuma nyamuk betina teman! Kasihan juga kalau nyamuk betina kita tepuki. Nanti spesies nyamuk bisa punah. Wah macam macan kumbang saja diambang kepunahan!
Ah nyamuk! Saya suka iseng tangkap nyamuk. Saya tangkap. Tapi tidak saya bunuh. Cukup di tangkap dengan genggam tangan. Kalau sudah begitu saya cemplungi dalam ember air. Eh nyamuknya ngambang! Entah seru, entah kurang kerjaan. Tapi pagi buta begini, mau apalagi. Tepuk nyamuk ya tepuk saja. Toh dia hisap darah ya hisap saja.
Kalau kemarin saya mau jadi cicak. Maka sekarang saya mau coba jadi nyamuk. Iya nyamuk. Nyamuk yang ceria! Selalu ceria! Hisap sana hisap sini. Duh asiknya. RJ
Tapi saya percaya. Setiap tulisan dibuat untuk di baca. Jadi ya saya tulis sendiri. Ya baca sendiri juga. Hahaha.. Sinting nian saya malam ini. Tapi tak apa lah.
Dari pada tak terbaca.
Saya masih berada di kamar 4x6 meter. Masih dengan penyakit insomnia berkepanjangan. Dan tulisan kali ini pun masih saya gunakan untuk berusaha menghancurkan mainstream tulis menulis.
Tak ada cicak malam ini. Cuma ada nyamuk. Jadi saya bicara nyamuk saja! Aha! #dapatangin
Nyamuk rumah saya ganas-ganas loh. Tiap hari jadi donor darah, saya dibuatnya! Bangke! Bangke segala bangke! Bangke yang paling bau! Kata Eno Lerian sih karena saya malas bersih-bersih. Emang iya.
.
Omong-omong tentang nyamuk. Filosofi nyamuk itu menyebalkan juga! Menghisap darah sebanyak-banyaknya hari ini, esok pagi siapa yang tahu. Untung-untung enggak "hap lalu ditangkap"!
Omong-omong tentang nyamuk. Yang hisap darah cuma nyamuk betina teman! Kasihan juga kalau nyamuk betina kita tepuki. Nanti spesies nyamuk bisa punah. Wah macam macan kumbang saja diambang kepunahan!
Ah nyamuk! Saya suka iseng tangkap nyamuk. Saya tangkap. Tapi tidak saya bunuh. Cukup di tangkap dengan genggam tangan. Kalau sudah begitu saya cemplungi dalam ember air. Eh nyamuknya ngambang! Entah seru, entah kurang kerjaan. Tapi pagi buta begini, mau apalagi. Tepuk nyamuk ya tepuk saja. Toh dia hisap darah ya hisap saja.
Kalau kemarin saya mau jadi cicak. Maka sekarang saya mau coba jadi nyamuk. Iya nyamuk. Nyamuk yang ceria! Selalu ceria! Hisap sana hisap sini. Duh asiknya. RJ
Senin, 07 Desember 2009
Naik Gunung
SAYA peringatkan, cerita berikut ini cuma tetek bengek semata. Sekedar cerita saya waktu naik gunung, waktu jaman kuliah semester satu dulu. Nggak ada yang spesial dari cerita ini. Toh saya bukan publik figur! perginya pun cuma sama teman-teman SMA dulu. Jadi ya biasa saja! Coba kalau saya ini publik figur. Cerita saya kebelet buang air aja bisa jadi cerita seru! Sialan. Dunia ini memang kejam!!
Layaknya dalam dunia Jurnalistik, human interest bermain di sini. Contohnya, jika ada anjing menggigit manusia itu hal biasa, tapi kalau ada manusia menggigit anjing itu baru berita luar biasa. Ya ampun, human interest!
Semua cerita di postingan ini nyata. Tidak ada yang dibuat-buat. Untuk datanya saya tambahkan dari wikipedia dan Google. Itu saja. Kalaupun ada kesalahan cerita, itu karena saya sudah lupa. Kan kejadiannya sudah lama sekali!
Eniwei.. Here i go.. Saya baru dua kali. Catat. Baru dua kali naik gunung. Gunungnya toh sama, Gunung Gede Pangrango! Saya bukan expert dalam hal pergunungan :(. Dan ini cerita pertama kali saya naik gunung.
Betapa antusiasnya saya kala itu. Dengar-dengar, naik gunung itu sama seperti uji nyali. Kehidupan kita hanya akan dijamin oleh barang-barang yang kita bawa di ransel. Kalau di ransel kita bawa Indomie, kornet dan sarden, maka jangan harap di atas gunung nanti kita bakalan makan roti! (Sebelumnya maaf. Saya awam soal naik gunung. Anak gunung sejati pasti akan menertawakan kecemenan saya ini! Jadi maaf. Dan silahkan tertawa wahai pendaki ulung!)
Gunung Gede memiliki ketinggian 1.000 - 3.000 meter diatas permukaan laut (mdpl). Dan orang yang saya rasa paling tepat untuk saya interogasi sebelum mencoba naik ke sana, adalah kakak saya! Kakak saya cuma cewek biasa. Tapi dia adalah masternya naik gunung!!
Banyak wejangan yang saya dapat dari dia. Mulai dari tempat mendirikan tenda. Sumber mata air. Sampai persiapan barang bawaan. Cukup membantu bagi saya yang baru sekali naik gunung. Memang saya ke sana nggak sendiri, tapi berlima. Dua orang di antara kami bisa dibilang udah cukup ahli naik gunung.
Maka berangkatlah kami menanjaki Gunung Gede...
Kata teman saya. Lebih baik berangkat tengah malam. Supaya sampai di kandang badak, pas subuh-subuh. Kandang badak itu salah satu lokasi mendirikan tenda di Gunung Gede, dijadikan tempat mendirikan tenda, karena sumber mata airnya cukup dsana. Ketinggiannya 2.220 mdpl!
Semoga tidak hujan pikir saya. Ah langitnya cerah. Penuh bintang-bintang. Jadi tak akan hujan. Asiik!
Kami jalan beriringan, karena trek berupa jalan setapak cuma muat maksimal untuk dua orang dewasa. Waktu itu trek di Gunung Gede masih tanah batu-batu, beda dengan sekarang yang sudah di bangun menyerupai tangga, dari papan kayu. Jadi waktu itu pendakian jauh lebih berat dari sekarang.
Jalan beriringan, saya ogah ada di paling depan. Soalnya saya belum tau medan. Tapi Saya juga ogah jalan paling belakang. Nanti dicolek setan gunung!
Perjalanannya sunyi tidak ada suara lain. Hanya suara kami berlima. Kalau ada yang keenam itu pasti setan. Yakin.
Setiap orang pegang senter masing-masing. Setiap orang memanggul ransel masing-masing. Bodohnya, bahan makanan tidak di sebar di tiap-tiap ransel, melainkan di tumpuk jadi satu di ransel tertentu. Tenda juga dibebankan hanya pada satu ransel. Jadi kehilangan satu ransel saja bakal jadi malapetaka! Kalo gak kehilangan bahan makanan, ya kehilangan tenda. Saya baru menyadari ini setelah lama nggak naik gunung lagi.
Dan perjalanan pun dilanjutkan. Saya sambil merokok. Selain rokok Marlboro Lights yang saya siapkan. Saya juga bawa rokok Sampoerna hijau. Rokok kretek paling tepat di bawa naik gunung. Sedang rokok Marlboro cuma untuk mengatasi kerinduan saja, kalau tiba-tiba saya sakau Marlboro.
Kami tiba di kawasan Telaga Biru. 1,5 Km dari gerbang pendakian. Checkpoint pertama kami. Disana bisa lihat-lihat pemandangan. Berhubung itu tengah malam, jadi ya gelap. Paling-paling ada sekelebatan putih-putih, sambil haha hihi!
Di telaga biru, kami santai-santai dulu. Saya merokok sambil makan Beng-Beng. Tapi lama-lama telaganya jadi seram. bukan main seramnya. Lah iya, itu sudah jam 12 lewat. Hampir jam satu. Tak mau lama-lama, teman saya usul supaya perjalanan dilanjutkan. Saya lalu makan gula merah. Naik gunung wajib bawa gula merah, kata teman saya. Soalnya itu bisa nambah stamina, dan gak cepat haus juga.
Eniwei, sebelumnya. Baik kakak saya maupun teman saya sudah mengingatkan kami akan melewati air terjun yang airnya panas. Sekitar 5,3 Km dari gerbang awal. Air terjun itu jadi checkpoint kedua. Di sana harus hati-hati. Kita cuma menapak batu kali. Sambil berpegangan pada kawat baja. Bagi pemula seperti saya, sarung tangan wajib hukumnya. Karena kawat bajanya banyak yang mengelupas.
Jadi ekspektasi saya hanyalah air terjun air panas. Ya! Rintangan pertama hari itu. Ah, saya sudah tidak sabar, merasakan adrenalinnya. Soalnya salah-salah bisa jatuh ke bawah jurang. Dan. Mati. Zzz..
Saya berkali-kali tanya, "masih jauh air terjunnya??"
Teman saya, "Dikit lagi, sabar."
Ah saya pun makan beng-beng lagi. Ngeroko lagi. Gula merah lagi. Waktu itu jantung saya masih kuat ngerokok sambil jalan nanjak. Tak tahu kalau sekarang.
Hmm benar saja. Dari jarak sekian ratus meter, suara air terjun sudah mulai terdengar. "Lo dengar tuh, air terjun sudah dekaat," kata teman saya.
"Wah-wah iya," jawab saya.
Maka sampailah kami di air terjun. Kami harus menyebrang. Injak batu-batu licin. Gelap pula. Saya pakai sepatu converse canvas, ditertawakan teman saya! Katanya begini, "lha mau naik gunung apa mau ke mall?" Saya jawab saja, "lha ini gaya baru, gw harus dapat royalti dari converse, karena sudah membuktikan sepatunya kuat di segala medan." hahaha.
Dan benar saja, sepatu converse itu licin injak batu. Kalau tidak dipegangi teman saya, saya bisa terjun bebas. Belum lagi air panasnya tembus ke dalam sepatu. Saya makin mau mampus.
Dan selamatlah kami menyeberang air terjun! Kalau sudah lewat air terjun sudah aman. Tinggal menuju checkpoint ketiga. Kandang badak! Disana tinggal bangun tenda dan tidur! Wah enaknya pikir saya. Maklum saya sudah mulai lelah!
Menuju kandang badak, satu persatu kami mulai KO! Mulai detik itu semakin banyak istirahatnya. Iya, sekedar duduk-duduk di tengah trek. Atur napas. Cuma lima menit saja, sebelum nanjak lagi. Tapi sering. Dan yang paling sering minta waktu untuk istirahat, ya saya ini! Untungnya semuanya teman terbaik saya di SMA dulu, jadinya tak ada keluhan sama sekali dari mereka. Yang jadi kendala waktu itu, waktu sudah jam tiga lewat, dan kandang badak masih jauh. Kantuk dan capai sudah tak tertahan..
"Oke ayo jalan lagi, gw uda siap," saya merasa sudah dapat angin.
Iring. Iring. Beriringan. Formasinya tetap sama. Dua teman saya yang sudah pernah naik gunung, ada di paling depan dan paling belakang. Saya nomor urut dua dari depan. Sesekali senter saya matikan, untuk menghemat. Senter yang terus menyala dari awal tentu saja senter yang paling depan. Seru. Kalau ada lubang yang paling depan akan teriak, "Awas lubang!" sambil menyoroti lubangnya dengan senter. Lalu yang dibelakangnya beriringan ganti-gantian menyorot lubangnya sampai yang paling belakang selamat lewat.
Kesetiakawanan bemar-benar diuji. Konon, sifat asli seseorang akan terlihat di gunung. Saya sudah buktikan sendiri. Di gunung keadaanya secara tidak langsung membuat kita tertekan. Nah, di saat tertekan seperti itu manusia biasa mengeluarkan sifat aslinya. Dan saya? Sifat saya memang agak manja, ketimbang empat orang teman saya. Satu orang teman, dia pemberani, karena apa-apa dia selalu bantu. Ada lagi yang pengeluh. Wah dari lima orang itu semuanya sifat aslinya keluar!
"Sebentar lagi sudah mau sampai kandang badak!" seru teman saya si pemberani. Dia hapal betul tanda-tanda jika kandang badak sudah dekat.
Mendengar kandang badak sudah dekat, yang lain jadi semangat. Tapi tetap saja tak kunjung sampai. Saya sempat berpikir, itu cuma akal-akalan dia saja agar semuanya semangat lagi. Sial. Tapi it works! Zzz..
Dan tiba-tiba saya kembali bikin ulah.. Saya sakit perut! Sialan! Saya benar-benar mau buang hajat! Di gunung! Hal yang paling saya khawatirkan kala itu!
Saya mengadu ke semuanya kalau saya sakit perut. Ah! Gara-gara makan beng-beng pikir saya! Dua beng-beng pagi buta plus berbatang gula merah! Di gunung pula! Ini akibatnya.. (sekedar mengingatkan, ini bukan rekayasa. Seluruh cerita ini tidak ada rekayasa sama sekali!)
Teman saya si pemberani, memberhentikan rombongan. "Lo boker aja di sana," dia nunjuk spot sebelah pohon gede. "Tapi lo gali dulu tanahnya," kata dia lagi.
Ah gila. Yang benar saja. Buang hajat di sebelah pohon gede, dipinggir trek pula. Pikiran kolot saya mulai bermain. Pohon gede=tempat setan! Belum lagi kalau ada pendaki lain lewat, malu tujuh turunan saya! Tapi demi seluruh penghuni gunung gede, saya benar-benar sudah tidak tahan! Peduli setan lah..
Sekitar 10 menit saya jongkok. Jongkok saja, sambil terus memanggil nama-nama teman saya. Takut ditinggal! Bahkan keempat kawan saya, akhirnya saya paksa duduk-duduk tiga meter saja dari tempat saya, karena saya merasa di amati entah oleh siapa di atas pohon sana. Sialan! Saya benar-benar takut. Gelap sekali. Eh teman saya malah nyenter anu saya. Lagi-lagi sialan! Ingin rasanya saya ambil hajatnya terus lempar ke muka dia! Aih, apa saya sudah tidak perjaka!?
15 menit. Dan saya sudah selesai. Ceboknya pake akua! Plus tisu basah! Benar-benar menderita! Tak lupa saya kubur lagi hajat saya, supaya tidak ada dendam diantara setan pohon gede. Hehe.
Semua senang semua gemilang. Kandang badak! Checkpoint!
Semuanya sudah kelelahan, saya sudah lupa dengan perasaan diamati dari atas pohon tadi. Yang saya pikirkan hanya istirahat. Karena besok akan ada rintangan lain sebelum menuju puncak. Lampu minyak dinyalakan. Semuanya bantu pasang tenda. Kami bawa dua tenda. Satu isi dua orang. Satu lagi di isi tiga. Sekitar 20 menit untuk pasang dua tenda.
Usai tenda di pasang. Di sekeliling tenda harus di gali semacam got kecil. Gunanya supaya kalau hujan airnya tidak banjir, tapi masuk di got kecil itu! Tak lupa taburkan garam di sekeliling tenda. Bukan buat masak! Tapi buat menahan kalau ada ular mau iseng..
Akhirnya semua istirahat dengan tenang. Dua teman saya masih sempat masak mie instant! Gembel, bikin saya lapar saja! Tapi saya terlanjur ngantuk jadi tidak ikut.
Grasak grusuk grasak grusuk, saya akhirnya bangun. Ternyata sudah siang, hampir jam 10. Dinginnya minta ampun, tiga jaket yang saya pakai, masih kalah sama dinginnya. Teman saya sudah masak mie instant. Dan siang itu, baru kelihatan, ternyata tak jauh dari tenda kami sudah ada sekitar tiga tenda lain yang merumput.
"Makan-makan!" teriak teman saya yang masak. Kali itu dia masak pakai telur. Nikmat sekali. Apapun juga enak kalau di atas gunung percayalah!
Karena tidak masak, jadi saya kebagian jatah cuci piring. Eh, cuci piring di atas gunung jangan pakai sabun! Mencemari lingkungan. Saya dan teman-teman dari awal sudah sepakat tidak mau aneh-aneh di atas gunung. Jadi cukup pakai air, dan di lap dengan tisu basah. Seluruh sampah dibawa serta lagi! (Kecuali tisu basah bekas cebok semalam. Itu saya kubur beserta hajat-hajatnya. Semoga setan pohon gede, tidak sadar kelakuan binal saya!)
Selesai berbenah dan gulung tenda, perjalanan dilanjutkan. Checkpoint kami hari ini tanjakan setan! Itu rintangan kali ini sebelum sampai ke puncak. Jadi tanjakannya curam, dari tanah. Naiknya harus satu-satu. Meski tidak perlu pakai tali naiknya, tapi tetap saja seram! Jarak dari dasar tanjakan setan ke atas sekitar 5 meter. Harus hati-hati disini.
Dari kandang badak ke tanjakan setan treknya relatih mudah. Karena hari sudah terang jadi ada adegan saling tinggal. Yang masih kuat boleh jalan duluan, tapi jangan jauh-jauh nanti hilang! Saya semangat sekali siang itu. Sambil mengemut gula merah, batu2 di tengah treak saya panjat. Pohon timbang saya langkahi. Semuanya dengan cepat. Malah saya dan seorang kawan adu cepat sampai ke tanjakan setan. Maklum, treknya sejalur jadi peluang nyasar minim. Seandainya treknya bercabang pasti ujungnya sama. Mulailah balapan terakbar siang itu. Saya dan converse vs teman saya dan sendal gunungnya. Menang mana coba?
Jawabannya saya tersengal-sengal sambil duduk di pohon plus makan beng-beng, menanti tiga orang kawan saya yang masih dibelakang. Teman saya yang satu sudah unggul di depan. Mungkin sudah sampai tanjakan setan.
Walau siang-siang. Sendirian di tengah trek cukup riskan loh! Bukan takut setan! Tapi saya takut ada binatang gunung! Beruntung tiga teman saya cepat sampai. Soalnya posisi saya sudah kepalang basah. Mau nyusul yang di depan, sudah terlalu jauh. Saya pun kapok adu balap lagi!
Lanjut menuju tanjakan setan!
Tak berapa lama sampai juga di tanjakan tersohor. Teman saya sang juara adu balap lagi asik ngerokok di atas batu. Dan benar saja, tanjakannya curam. Saya bahlan ragu bisa naik ke atas sana.
Teman saya si pemberani maju duluan dengan ransel carielnya. Sampai di atas dia taruh ransel lalu turun lagi ke tengah tanjakan untuk oper semua ransel cariel dari bawah. Disana waktu itu ada lima orang lain yang juga kesulitan naik. Jadilah saling bantu membantu menaikkan ransel ke atas.
Ngomong-ngmong ransel cariel, ransel saya merk Alpina warna abu-abu. Kapasitasnya 50 liter. Saya pinjam dari kakak saya. Itu Ransel sudah melanglangbuana ke berbagai gunung di bawa kakak saya loh. Gunung gede, gunung salak, gunung halimun, bahkan puncak jaya di Papua yang ada es di puncaknya. Ah saya bangga bisa pakai itu ransel!
Ngomong-ngomong soal ransel, sebelumnya saya sudah dapat wejangan dari kakak tercinta soal packing ransel. Kata dia barang-barang yang ringan sebaiknya di taruh di dasar ransel, yang berat taruh diatas. Supaya waktu di pakai nanti beban terberat ransel ada di pundak bukan di pinggang! Ah wejangannya benar-benar bermanfaat bagi saya!
Jadilah beragam snack dan kaos, saya taruh di dasar ransel. Baru diatasnya saya taruh kornet, gula merah, beras, kratingdaeng dan celana panjang serta jaket cadangan yang berat-berat. Memang 70% bahan makanan dibebankan diransel saya. Jadi kalau saya nyasar saya masih punya stok makanan! Sebaliknya teman saya akan kelaparan kalau saya hilang.. Hehe.. Teman-teman saya memang baik dan yahud! Tapi apalah arti beras, mie instant, kornet tanpa alat-alat masak yang ada di ransel teman saya. Huh, tak jadi yahud deh! *sigh
Akhirnya, kami semua sampai di atas tanjakan setan, plus kelima ransel! Saya jadi berpikir, bagaimana cara turun tanjakan setan, ketika pulang nanti. Soalnya kami semua memutuskan pulang lewat jalur yang sama kala itu, Sebenarnya ada jalur Gunung Putri untuk pulang, tapi kami urung, entah kenapa, tapi memang seperti itu perjanjiannya.
Usai tanjakan setan tidak ada lagi rintangan berarti. Kami tinggal naik ke atas puncak gunung gede! Ciri-ciri sudah mau sampai puncak itu mudah. Semakin kecil pohon disekitar, berarti puncak semakin dekat!
Kami sedikit bicara kala itu, untuk menghemat nafas. Lambat laun jenis pohonnya mulai berganti jadi pohon kecil. Saya tidak tahu apa jenis pohonnya. Mirip pohon edelweis tapi bukan. Dua teman saya teriak, "dikit lagi sampai!"
Saya makin cepat. Saya tidak pakai jaket sama sekali dari kandang badak tadi. Siang-siang tidak terlalu dingin, apalagi harus mendaki. Lalu benar saja, kami sampai di puncak! Ya, puncak gunung gede pangrango kawan!! 2.958 m. dpl atau 9,7 Km dari pintu gerbang pertama!
Kami semua langsung foto-foto. Waktu itu handphone kamera belum bumming di indonesia, kamera digital jg blm bumming di Indonesia. Jadi cm pakai kamera pocket film. Filmnya dibeli patungan yang isi 50. Potetik!
Aha saya pun foto-foto babibuta. Ah penampilan saya seperti kuli panggul! Dekil dan kotor! Peduli amat! Kuli juga manusia! Dan saya memang belum mandi dari kemarin..
Satu jam lami habiskan untuk foto-foto dan istirahat melihat pemandangan kawah gunung gede pangrango. Katanya sih waktu itu kawahnya masoh suka aktif. Asap belerangnya menyengat betul. Saya lempar kerikil ke dalam kawah, lalu asap belerang menyembur jauh di dasar kawah. Asiknya.
Perut kami sudah mulai lapar. Mau makan siang. Checkpoint kami setelah dari puncak adalah alun-alun Surya Kencana! Kalian belum pernah naik gunung gede? Maka kalian wajib sedih! Surya Kencana adalah surga kawan! Entah luasnya berapa hektar. Yang jelas surya kencana itu kawasan lain setelah kandang badak, yang memang khusus mendirikan tenda. Hanya segelintir orang yang mau mendirikan tenda di puncak gunung gede. Saya sih tak kebayang dinginnya macam mana.
Surya kencana sendiri letaknya di bawah, disisi lain dari tempat kami tadi naik atau 2.750 m. dpl. Jadi begitu sampai puncak, kami tinggal jalan menyusuri pinggiran puncak dan turun lagi ke sisi lain gunung. Dari puncak ke surya kencana sekitar setengah jam lebih perjalanan, karena jalanannya menurun. Di sini saya juaranya, karena saya pakai sepatu, jadi saya tidak takut menginjak batu-batu tajam. Saya melesat turun ke bawah. Kali ini sambil minum kratingdaeng. Sedikit-sedikit. Sedikit saya minum, sedikit saya kantongi. Saya pakai celana cargo, dengan kantong banyak, jado aman. Potongan gula merah dalam plastik kecil saya taruh di kantong kiri, kratingdaeng dikantong kanan. Kantong-kantong lain saya manfaatkan untuk taruh rokok, korek. Pisau kecil saya gantung saja di kaitan ikat pinggang. Sedari kandang badak pula celana kargonya saya gulung. Maklum. Gerah kaki saya!
Turun ke surya kencana kebalikan dari naik ke puncak sebelumnya. Kali ini semakin besar pohon sekitar berarti semakin dekat!
Kalau sudah turunan begini saya jadi ingin lempar ransel saja agar menggelinding ke bawah. Asal jangan sayanya saja yang gelinding!
Dan saya pun tiba di surya kencana! Kalian masih ingat perkataan saya tentang surga surya kencana?? Iya! Di surya kencana ada ratusan pohon edelweis! Ratusan kawan!! Edelweis, terhampar di hektaran-hektaran kawasan surya kencana! Di sana sudah ada puluhan tenda orang-orang yang dibangun. Mereka mencari spotnya masing-masing. Jaraknya berjauh-jauhan. Hamparan bunga abadi edelweis! Surga!
Satu hal yang saya kurang suka dari surya kencana adalah sumber mata airnya cuma satu di tengah-tengah, dan lokasinya agak menjorok ke dalam. Jadi agak mirip gua di tengah-tengah padang edelweis. Saya lebih suka sumber mata air di kandang badak soalnya mengalir panjang seperti sungai.
Saya langsung isi air ke dalam botol aqua, buat persediaan sepanjang malam. Maklum, kami dirikan tenda agak jauh dari sumber mata air. Eniwei, di gunung, airnya bisa langsung di minum. segar dan dingin pula!
Jam sekitar pukul 2. Kami langsung bangun tenda, lalu masak nasi. Menu kali ini nasi goreng kornet. Kami memang bawa bawang putih, merah dan cabai, untuk bikin nasi goreng. Nasi goreng jadi menu mewah di atas gunung!
Beruntung teman saya bawa pisau kater untuk potong bawang. Soalnya saya ogah pinjamkan pisau lipat kesayangan! Nanti pisaunya berbau bawang! Lebih baik pisaunya tumpul untuk buka kaleng, ketimbang tajam tapi bau bawang!
Sebelumnya sejumlah pisau lipat dan kater, bawanya pun harus petak umpet sama petugas di pintu gerbang. Di pintu gerbang seluruh bawaan akan diperiksa oleh petugas ranger gunung. Tidak boleh ada pisau, karena berbahaya. Tapi menurut saya dan kawan-kawan hal itu konyol, karena di gunung pisau jadi barang yang berharga dikala genting. Dengan pisau kita bisa survive kalau-kalau nyasar. Terlebih ada binatang buas! Jadilah pisau saya sembunyikan dalam sepatu.
Selesai pasang tenda dan makan, saya dan dua seorang teman langsung isi ulang dua lampu minyak yang kami bawa. Supaya nanti malam lebih terang, saya juga bikin lampu dadakan dari botol kratingdaeng yang diisi minyak. Sumbunya, kebetulan memang sudah siap dari Jakarta. Saya bikin tiga lampu kratingdaeng. Kalau di surya kencana, bukan setan dan binatang buas saja yang harus di waspadai. Tapi juga pendaki-pendaki lain. Wajar sajalah, walau senasib sepenanggungan, tapi niat pencuri siapa yang tahu. Saya dan kawan-kawan wajib waspada! Jadi saya perbanyak lampu untuk nanti malam.
Teman saya si pemberani mengumpulkan kayu-kayu ranting untuk bekal api unggun. Kami cuma semalam di surya kencana, sebelum akhirnya turun gunung esok hari. Jadi itu jadi malam terakhir kami. Harus ada api unggun dong!
Kayu yang sudah terkumpul, di susun sedemikian rupa membentuk piramid. Ya, macam api unggun pada umumnya lah. Eh tau-tau saya mau buang hajat lagi! Berengsek..
Langitnya masih sore. Masa iya saya buang hajat. Nanti dilihat orang-orang lain. Malu! Tapi saya pikir, dari pada nanti malam seram! Lagipula siapa yang mau menemani saya nanti?! Pasti semuanya mau santai-santai di tenda!
Akhirnya saya buang hajat lagi. Tadinya mau di dekat tenda, tapi dilarang sama empat teman saya. Yasudah. Saya pasrah agak menjauh dengan resiko pantat di gigit macan kumbang.
Saya bawa kayu dan pisau untuk senjata. Takut ada yang aneh-aneh! Saya juga pakai jaket, supaya kalau ada pendaki lain lewat saya bisa tutupi muka.
15 menit, dan selesai sudah. Lagi-lagi cebok pakai akua plus tisu basah, sampai jakarta pantat bisa berkerak pikir saya!
Saya balik ke tenda. Lagi-lagi teman saya memastikan bahwa hajatnya sudah saya kubur dengan rapi. Saya jawab saja sekenanya, "udah gw kubur! Gw kasi tanda pake kayu, kali aja lo mau bongkar lagi."
Kami pun foto-foto. Foto yang saya upload di atas itu tepat setelah saya buang hajat looh.. kikikikik..
Iya, seperti itulah hamparan Surya Kencana. Yang dibelakang saya itu ratusan bunga edelweis. Maaf kalau di fotonya ada tulisan aneh, itu saya edit jaman dulu, waktu masih hobi main MySpace. hehe.
Oke. Dan malam pun datang.
Kalian masih ingat saya bilang surya kencana itu surga? Ya ini puncaknya! Ratusan rasi bintang kawan! Ratusan rasi bintang nampak jelas tanpa malu-malu! Bisa dilihat dengan kasat mata! Rasi bintang biduk, bintang kejora, sampai rasi bintang layang-layang semuanya ada! Saya kurang beruntung karena tidak menemukan bintang jatuh semalaman. Sial.
Malam-malam disurya kencana, kami pesta makanan. Maklum malam terakhir, jadi rencananya bahan makanan mau kami habiskan. Kami hanya sisakan 30% untuk sarapan pagi dan makan siang besoknya.
Ya, saya keluarkan fanta, calpico dan mirinda kalengan. Jaman itu masih ada Mirinda dan Calpico! Cemilannya biskuit saja. Sebenarnya kakak saya sudah melarang keras bawa minuman kaleng. Soalnya cuma bikin berat dan tak begitu berguna. Dia menyarankan bawa bekal yang mengenyangkan saja dan fokus pada makanan, snack pun disarankan biskuit saja, ya karena mengenyangkan. Untuk air dia menyarankan cukup ambil dari mata air di gunung. Tapi saya tetap nekat bawa minuman kaleng dan sedikit beng-beng. Toh semua menikmati. Hehe..
Malam kian larut, saya putuskan masak air untuk bikin teh dan kopi. Lagi-lagi sambil merokok. Kali ini Marlboro rokoknya, saya benar-benar ngidam setelah seharian kemarin cuma kretek saja.
Malam itu saya pakai jaket tiga. Dinginnya lebih dingin ketimbang kandang badak, Kopi mendidih langsung adem seketika!
Ah asiknya. Besok kami pulang. Jadi malam ini bergadang saja sampai pagi buta. Kira-kira pukul 11.30 malam, kami mulai sulut api unggun. Kalau ada singkong mungkin sudah saya bakar di situ. Pasti nikmat.
Malam kian dalam. Eh ada yang main tebak-tebakan. Ada penghuni tenda lain memberi tebakan, lalu tenda lain yang tidak begitu jauh berusaha menjawab. Ah jadul sekali. Macam tahun 80an saja pikir saya. Sangat tidak Millenium kala itu! *Sigh.
Saya obrol-obrol saja sama kawan, sambil tiduran melihat ke langit. Bintangnya banyak betul. Saya belum pernah melihat bintang sebanyak itu dengan mata telanjang. Jadi saya senang sekali. Bahkan sampai detik ini saya masih punya hasrat pergi ke Surya Kencana, sayangnya saya terlalu takut fisik saya tidak begitu kuat ke sana. Saya ini jarng olahraga. Lah kalau liputan saja kerjanya cuma merokok terus, dan pulangnya pegal-pegal.
Seandainya ada yang mengajak saya naik gunung lagi, saya pasti akan memastikan kalau naiknya santai dan tidak buru-buru. Supaya bisa lebih banyak istirahat.
Bersambung..
Sabtu, 05 Desember 2009
Cicak!
SAYA merasa bosan. Dikamar ukuran 4x6 meter, saya tak tahu lagi mau berbuat apa. Sudah jam 3 pagi, tapi tak juga mengantuk.
Saya tatapi langit-langit kamar. Lama. Sambil menerawang, menyusun ulang memori saya hari ini. Tapi, tak ada yang spesial.
Lagi asik menatap langit-langit. Wah, saya lihat cicak! Cicak ukuran sedang. Eh sepertinya dia menatap saya! Saya tatap balik. Lama-lama kok jadi seperti meledek. Iya, itu cicak meledek saya! Ya, saya ledek balik saja! Wlueek... Gilanya saya.
Eh, eh dia dapat nyamuk. Asiknya dia. Tinggal hap lalu di tangkap. Seperti lagu jaman kecil dulu..
Hmm.. Saya jadi ingat masih punya senter laser hadiah dari liputan! Senter biasa tapi cahayanya laser merah kecil. Baterainya pakai baterai jam, isi tiga.
Saya ganggu saja itu cicak nakal pakai laser. Awalnya buntutnya saya sorot. Belum ada reaksi. Saya sorot badannya. Juga belum ada reaksi. Saya kesal. "Apa cicak ini buta?" pikir saya. Ah tidak mungkin. Kan barusan dia dapat nyamuk.
Saya coba sorot di sebelah matanya. Oh cicaknya bergerak! Sinar laser saya malah mau di makan! Saya sorot saja matanya. Dia diam.
Saya sorot lagi sebelah matanya. Dia mau makan lagi, tapi sinarnya saya jalankan menjauh. Eh dia kejar! Tapi ragu-ragu. Ah asiknya menggoda cicak. Cicak dungu! ahaha..
Awas saja kalau dia sampai buang hajat di atas muka saya. Saya timpuk pakai kertas nanti.
Saya menerawang. Sesampainya di sarang nanti, itu cicak pasti akan bercerita kepada teman-temannya. Mungkin kira-kira begini pembicaraannya:
Si cicak dungu: "Ah saya tadi lihat nyamuk. Tapi berwarna meraah! Nyamuk jenis baru, pasti lezat. Tapi susah saya tangkap."
Cicak lain: "Ah mana mungkin. Kamu mabuk barangkali!"
Si cicak dungu: "Benar kok. Berani sumpah. Coba saja kamu lihat, itu di lampu sebelah sana."
Cicak lain: "Ah masa sih."
Si cicak dungu: "Iya benar. Gerakannya lebih lincah dari nyamuk biasa. Bahkan terbangnya tanpa bunyi!"
Saya tertawa ringan. Seringan kapas. Dan cicaknya pun pergi kebalik bingkai foto. Lagi-lagi seperti meledek dengan meninggalkan bunyi ckckck.. Sial!
Ngomong-ngomonh soal cicak. Kakak saya takut cicak. Kalau dekat cicak dia pasti menjerit. Pernah dikamar mandi, tau-tau dia teriak, eh tak taunya cuma gara-gara ada cicak lompat ke tangannya.
Ngomong-ngomong soal cicak. Alangkah spesialnya binatang itu. Dia bersama nyamuk dan semut. Ya, tiga binatang itu sangat spesial bagi saya. Kenapa? Karena tiga binatang itu hampir pasti bisa dijumpai di setiap rumah. Rumah manapun. Rumah siapapun. Bahkan rumah presiden sekalipun. Pasti ada!
Ah saya jadi ingin coba sejam jadi cicak. Satu jam saja. Cuma mau tau rasanya merayap di tembok. Pasti asik. Bahkan di Malaysia sudah produksi film superhero bernama Cicak Man. Konyol. Tapi itulah cicak. Begitu mendunia. RJ
Jumat, 04 Desember 2009
Heroes bag. II
EH EH EH, saya cengeng lagi. Lagi-lagi saya terharu. Dang! Ada apa dengan saya??
Saya meliput pelepasan kontingen karateka Indonesia yang akan berlaga di Sea Games, Laos 2009. Hadir dalam pelepasan itu ketua Pengurus Besar Federasi Olahraga Karate-Do Indonesia (PB FORKI), Luhut B. Panjaitan.
Bapak Luhut menaiki mimbar pidatonya. Dia bilang: ”Di Indonesia ini, cuma dua orang yang bisa membuat bendera Merah Putih dikibarkan di negara lain, yang pertama adalah presiden, dan yang kedua adalah atlet.”
Iya. Atlet. Atlet yang berhasil juara dikompetisi intrernasional, maka bendera negaranya akan dikibarkan, plus lagu kebangsaan negaranya dikumandangkan.
Perkataan itu dijawab keras oleh atlet karateka Indonesia dengan teriakan ”HOSH!” yang artinya siap! Saya benar-benar terharu! Dang!
Lalu, bapak Luhut mulai bertanya pada satu persatu atlet yang hadir. Saya lupa nama-nama atletnya. Maklum totalnya ada 17 atlet yang hadir. Tapi saya masih ingat beberapa komentar. Ini nyata, tidak saya buat-buat. Begini komentarnya:
Atlet 1: ”Selama dua bulan saya sudah di genjot, latihan fisik dan mental. Saya siap meraih emas!”
Atlet 2: ”Saya tidak mau berkomentar banyak. Yang jelas saya akan berusaha memberikan yang terbaik bagi merah putih!”
Dan Atlet 3:”HOSH! Saya siap bapak. Walaupun muka saya bonyok berdarah-darah, rahang saya pindah, saya siap meraih emas!”
Yang terakhir itu, entah saya harus terharu atau tertawa terpingkal-pingkal. Zzz..
Lalu, seluruh atlet mengadakan prosesi pelepasan dengan satu persatu mencium bendera merah putih. Diiringi lagu padamu negeri! Saya makin cengeng!!! Mata saya mulai berkaca-kaca. Saya mulai mojok ke tembok. Takut ketahuan nangis. Eh wartawan TVRI ngikutin saya mojok! Sial.
Yang jelas. Dari pendengaran saya. Secara garis besar seluruh atlet siap raih medali emas di Sea Games Laos 2009.
Selesai prosesi. Saya gegap gempita wawancara. Ismail, karateka Indonesia yang bakal turun di nomor ’kumite beregu’, mengaku kepada saya siap raih emas. (’Kumite’ adalah salah satu nomor pertandingan dalam cabang karateka, yang dilakukan dengan bertarung. Jadi nanti Ismail akan bertarung di sana. Nomor lain yang akan dipertandingkan adalah nomor ’kata’. Nomor ’kata’ itu lebih kepada seni/non-fighting , dengan menampilkan gerakan-gerakan karateka yang nantinya di nilai oleh juri.)
Jadi Ismail akan bertarung di Laos. Saya tanya persiapan dia. Dia bilang: ”Yang jelas sudah siap 100%, tinggal tunggu pertandingan saja.” Bagus batin saya. Semoga beruntung kawan. Zzzz..
Ismail bilang kepada saya, dia memprediksikan lawan terberatnya nanti adalah Vietnam dan Malaysia. Sea Games tahun lalu Ismail meraih emas. Saya yakin Ismail menang lagi. Dan tentunya supaya bendera Indonesia bakal berkibar di Laos. RJ
Saya meliput pelepasan kontingen karateka Indonesia yang akan berlaga di Sea Games, Laos 2009. Hadir dalam pelepasan itu ketua Pengurus Besar Federasi Olahraga Karate-Do Indonesia (PB FORKI), Luhut B. Panjaitan.
Bapak Luhut menaiki mimbar pidatonya. Dia bilang: ”Di Indonesia ini, cuma dua orang yang bisa membuat bendera Merah Putih dikibarkan di negara lain, yang pertama adalah presiden, dan yang kedua adalah atlet.”
Iya. Atlet. Atlet yang berhasil juara dikompetisi intrernasional, maka bendera negaranya akan dikibarkan, plus lagu kebangsaan negaranya dikumandangkan.
Perkataan itu dijawab keras oleh atlet karateka Indonesia dengan teriakan ”HOSH!” yang artinya siap! Saya benar-benar terharu! Dang!
Lalu, bapak Luhut mulai bertanya pada satu persatu atlet yang hadir. Saya lupa nama-nama atletnya. Maklum totalnya ada 17 atlet yang hadir. Tapi saya masih ingat beberapa komentar. Ini nyata, tidak saya buat-buat. Begini komentarnya:
Atlet 1: ”Selama dua bulan saya sudah di genjot, latihan fisik dan mental. Saya siap meraih emas!”
Atlet 2: ”Saya tidak mau berkomentar banyak. Yang jelas saya akan berusaha memberikan yang terbaik bagi merah putih!”
Dan Atlet 3:”HOSH! Saya siap bapak. Walaupun muka saya bonyok berdarah-darah, rahang saya pindah, saya siap meraih emas!”
Yang terakhir itu, entah saya harus terharu atau tertawa terpingkal-pingkal. Zzz..
Lalu, seluruh atlet mengadakan prosesi pelepasan dengan satu persatu mencium bendera merah putih. Diiringi lagu padamu negeri! Saya makin cengeng!!! Mata saya mulai berkaca-kaca. Saya mulai mojok ke tembok. Takut ketahuan nangis. Eh wartawan TVRI ngikutin saya mojok! Sial.
Yang jelas. Dari pendengaran saya. Secara garis besar seluruh atlet siap raih medali emas di Sea Games Laos 2009.
Selesai prosesi. Saya gegap gempita wawancara. Ismail, karateka Indonesia yang bakal turun di nomor ’kumite beregu’, mengaku kepada saya siap raih emas. (’Kumite’ adalah salah satu nomor pertandingan dalam cabang karateka, yang dilakukan dengan bertarung. Jadi nanti Ismail akan bertarung di sana. Nomor lain yang akan dipertandingkan adalah nomor ’kata’. Nomor ’kata’ itu lebih kepada seni/non-fighting , dengan menampilkan gerakan-gerakan karateka yang nantinya di nilai oleh juri.)
Jadi Ismail akan bertarung di Laos. Saya tanya persiapan dia. Dia bilang: ”Yang jelas sudah siap 100%, tinggal tunggu pertandingan saja.” Bagus batin saya. Semoga beruntung kawan. Zzzz..
Ismail bilang kepada saya, dia memprediksikan lawan terberatnya nanti adalah Vietnam dan Malaysia. Sea Games tahun lalu Ismail meraih emas. Saya yakin Ismail menang lagi. Dan tentunya supaya bendera Indonesia bakal berkibar di Laos. RJ
Workingclass Hero
Dalam postingan saya kali ini, saya mencoba agak lebih serius. Sedikit. Sedikit saja. Semoga membuka mata kita semua.
SAYA ini bukan apa-apa, hanya seorang wartawan olahraga ingusan. Pekerjaan ini kadang membosankan. Meliput peristiwa. Menulisnya menjadi berita kaya makna, informasi. Setiap hari.
Pekerjaan ini membawa saya kepada tanggung jawab moral untuk memberikan informasi seluas-luasnya pada khalayak ramai. Saya merasa lelah. Letih. Tenaga, pikiran saya kuras habis. Namun dibalik semua itu. Saya merasa bangga. Dan kebanggaan itu tak pernah bisa dibeli.
Saya meliput kepulangan Eko, atlet angkat besi (bekas penggembala kambing), yang meraih emas di Korea. Saya bangga. Saya meliput pelepasan atlet karateka Indonesia ke Sea Games. Saya bangga. Saya pernah melihat orang membeli koran, tempat saya bekerja, dan dia membaca berita yang saya tulis. Saya bangga. Dan saya adalah orang pertama dikeluarga besar saya, yang menjadi wartawan. Saya bangga!
Namun kebanggaan itu terkadang penuh tatap sinis kawan! Saya lupa sudah berapa kali. Tapi yang terakhir waktu saya meliput pelepasan atlet karateka ke Sea Games, Laos.
Bekal saya sama seperti tempo-tempo hari. Saya kenakan kaos. Gambarnya cukup band Ramones. Jeans butut, seminggu belum di cuci. Sebuah memo, saya kantongi di kantong belakang. Pulpen di kantong depan. Handphone saya selalu dalam posisi stand by merekam. Dan tentunya sepatu canvas merek converse yang telah melanglangbuana bersama saya mengarungi turnamen demi turnamen olahraga. Dan hampir terlupakan, tas selempang hitam merek Consina, yang kantongnya banyak dan tahan air. Lebih dari itu, saya bukan apa-apa.
Kalian tahu ketika gaya liputan saya (yang saya jabarkan di atas) itu dibawa ke hotel bintang lima? Jawabannya adalah tatapan sinis dari petugas lobi hotel, interogasi kasar dari satpam-satpam hotel, dan bahkan jawaban memilukan dari pelayan hotel. Karena saya tetap akan menjadi saya, maka saya tidak akan pernah kapok!
Saya juga tidak pernah marah. Saya anggap angin lalu saja. Mungkin bagi mereka, gaya berpakaian saya hanya pantas di bawa ke pasar malam. Menyedihkan! Tapi ya begitulah adanya.
Toh biasanya, tatapan sinis mereka berubah menjadi senyum dan ’sok kenal sok dekat’, saat mereka menyadari saya adalah wartawan. Saya kadang menilai mereka sebagai penjilat. Tapi peduli amat. Yang saya perlukan hanyalah liputan dan membuat berita. Itu saja. Selesai perkara.
Setiap pekerjaan memberikan kebanggaannya sendiri. Setiap pekerjaan mempunyai peranannya sendiri di masyarakat. Semua pekerjaan itu penting. Jadi saya tidak pernah mengganggap profesi tertentu itu rendahan, terlebih menjijikan. Kuli, pembantu, tukang cuci, tukang parkir dan segala macam pekerjaan level terbawah, mempunyai peranan vital yang signifikan bagi kehidupan kita. Begitu juga halnya dengan pekerjaan-pekerjaan level menengah ke atas. Saya berjanji, akan terus berusaha menghargai mereka semua. Mereka kan para pekerja-pekerja handal. :) RJ
SAYA ini bukan apa-apa, hanya seorang wartawan olahraga ingusan. Pekerjaan ini kadang membosankan. Meliput peristiwa. Menulisnya menjadi berita kaya makna, informasi. Setiap hari.
Pekerjaan ini membawa saya kepada tanggung jawab moral untuk memberikan informasi seluas-luasnya pada khalayak ramai. Saya merasa lelah. Letih. Tenaga, pikiran saya kuras habis. Namun dibalik semua itu. Saya merasa bangga. Dan kebanggaan itu tak pernah bisa dibeli.
Saya meliput kepulangan Eko, atlet angkat besi (bekas penggembala kambing), yang meraih emas di Korea. Saya bangga. Saya meliput pelepasan atlet karateka Indonesia ke Sea Games. Saya bangga. Saya pernah melihat orang membeli koran, tempat saya bekerja, dan dia membaca berita yang saya tulis. Saya bangga. Dan saya adalah orang pertama dikeluarga besar saya, yang menjadi wartawan. Saya bangga!
Namun kebanggaan itu terkadang penuh tatap sinis kawan! Saya lupa sudah berapa kali. Tapi yang terakhir waktu saya meliput pelepasan atlet karateka ke Sea Games, Laos.
Bekal saya sama seperti tempo-tempo hari. Saya kenakan kaos. Gambarnya cukup band Ramones. Jeans butut, seminggu belum di cuci. Sebuah memo, saya kantongi di kantong belakang. Pulpen di kantong depan. Handphone saya selalu dalam posisi stand by merekam. Dan tentunya sepatu canvas merek converse yang telah melanglangbuana bersama saya mengarungi turnamen demi turnamen olahraga. Dan hampir terlupakan, tas selempang hitam merek Consina, yang kantongnya banyak dan tahan air. Lebih dari itu, saya bukan apa-apa.
Kalian tahu ketika gaya liputan saya (yang saya jabarkan di atas) itu dibawa ke hotel bintang lima? Jawabannya adalah tatapan sinis dari petugas lobi hotel, interogasi kasar dari satpam-satpam hotel, dan bahkan jawaban memilukan dari pelayan hotel. Karena saya tetap akan menjadi saya, maka saya tidak akan pernah kapok!
Saya juga tidak pernah marah. Saya anggap angin lalu saja. Mungkin bagi mereka, gaya berpakaian saya hanya pantas di bawa ke pasar malam. Menyedihkan! Tapi ya begitulah adanya.
Toh biasanya, tatapan sinis mereka berubah menjadi senyum dan ’sok kenal sok dekat’, saat mereka menyadari saya adalah wartawan. Saya kadang menilai mereka sebagai penjilat. Tapi peduli amat. Yang saya perlukan hanyalah liputan dan membuat berita. Itu saja. Selesai perkara.
Setiap pekerjaan memberikan kebanggaannya sendiri. Setiap pekerjaan mempunyai peranannya sendiri di masyarakat. Semua pekerjaan itu penting. Jadi saya tidak pernah mengganggap profesi tertentu itu rendahan, terlebih menjijikan. Kuli, pembantu, tukang cuci, tukang parkir dan segala macam pekerjaan level terbawah, mempunyai peranan vital yang signifikan bagi kehidupan kita. Begitu juga halnya dengan pekerjaan-pekerjaan level menengah ke atas. Saya berjanji, akan terus berusaha menghargai mereka semua. Mereka kan para pekerja-pekerja handal. :) RJ
Kamis, 03 Desember 2009
Ampuni saya tuhan..
Kehidupan ini begitu pelik. Semua menyadari itu. Tapi tak cukup sadar untuk tidak melulu hanya memikirkan kehidupan duniawi. Dan sebagian manusia. Termasuk saya. Begitu mudahnya melupakan tuhan. Ah tuhan. Maafkan saya!
Kita hidup bersama. Tapi nyatanya "mati" sendiri. Kalian tahu, mati disini bermakna ambigu. Maksud saya, mati dalam hal sendiri. Kesepian. Tak ada teman. Kalian tentu pernah merasa seperti itu. Merasa sendiri di tengah keramaian. Begitulah. Hidup.
Dan jika sudah begitu. Kalian. Kita. Saya. Baru ingat yang namanya tuhan. Akuilah.
Saya melupakan tuhan saya. Bahkan saya hanya memintanya membantu saya, tiap kali saya merasa mati. Tuhan selalu membantu saya. Dan seterusnya saya kembali melupakannya. Lalu merasa mati lagi. Meminta lagi. Di beri lagi. Lupa lagi. Mati lagi, begitu terus seumur hidup saya. Ampuni saya tuhan.
Pertanyaan yang besar terhadap tuhan, pernah datang dibenak saya, November 2008. Saat itu saya bertanya-tanya: "Mengapa saya dan dia dipertemukan, disatukan selama 4 tahun, untuk kemudian dipisahkan kembali?"
Lalu tuhan mengasihani saya. Dia memberi saya kesempatan. Kesempatan agar saya tidak merasa mati di dunia ini. Saya dan dia kembali dipersatukan lagi.
Kini lima tahun sudah. November 2009. Saya melontarkan pertanyaan yang tak jauh beda: "Mengapa saya dan dia dipertemukan, dipersatukan, jika akhirnya hanya saling cacimaki."
Lalu tuhan kembali mengampuni saya. Memberi nafas kepada hati saya. Saya dan dia, kembali disatukan.
Lalu Desember 2009. Tuhan mungkin sudah geram dengan tingkah laku saya. Saya ini bagai sampah. Selalu minta dibersihkan ketika sudah menumpuk di sudut rumah. Saya ini bagai sampah. Selalu minta dibakar ketika sudah menumpuk di pekarangan. Dan saya ini bagai sampah, yang selalu hadir kembali tak henti-henti mengotori lahan-lahan kosong di dunia.
Dia terlalu baik. Saya sadari itu. Mungkin Tuhan hanya ingin menyelamatkan dia dari sampah seperti saya. Tapi tuhan, mohon ampuni saya. Saya yang hanya ingat di saat saya merasa mati. RJ
Kita hidup bersama. Tapi nyatanya "mati" sendiri. Kalian tahu, mati disini bermakna ambigu. Maksud saya, mati dalam hal sendiri. Kesepian. Tak ada teman. Kalian tentu pernah merasa seperti itu. Merasa sendiri di tengah keramaian. Begitulah. Hidup.
Dan jika sudah begitu. Kalian. Kita. Saya. Baru ingat yang namanya tuhan. Akuilah.
Saya melupakan tuhan saya. Bahkan saya hanya memintanya membantu saya, tiap kali saya merasa mati. Tuhan selalu membantu saya. Dan seterusnya saya kembali melupakannya. Lalu merasa mati lagi. Meminta lagi. Di beri lagi. Lupa lagi. Mati lagi, begitu terus seumur hidup saya. Ampuni saya tuhan.
Pertanyaan yang besar terhadap tuhan, pernah datang dibenak saya, November 2008. Saat itu saya bertanya-tanya: "Mengapa saya dan dia dipertemukan, disatukan selama 4 tahun, untuk kemudian dipisahkan kembali?"
Lalu tuhan mengasihani saya. Dia memberi saya kesempatan. Kesempatan agar saya tidak merasa mati di dunia ini. Saya dan dia kembali dipersatukan lagi.
Kini lima tahun sudah. November 2009. Saya melontarkan pertanyaan yang tak jauh beda: "Mengapa saya dan dia dipertemukan, dipersatukan, jika akhirnya hanya saling cacimaki."
Lalu tuhan kembali mengampuni saya. Memberi nafas kepada hati saya. Saya dan dia, kembali disatukan.
Lalu Desember 2009. Tuhan mungkin sudah geram dengan tingkah laku saya. Saya ini bagai sampah. Selalu minta dibersihkan ketika sudah menumpuk di sudut rumah. Saya ini bagai sampah. Selalu minta dibakar ketika sudah menumpuk di pekarangan. Dan saya ini bagai sampah, yang selalu hadir kembali tak henti-henti mengotori lahan-lahan kosong di dunia.
Dia terlalu baik. Saya sadari itu. Mungkin Tuhan hanya ingin menyelamatkan dia dari sampah seperti saya. Tapi tuhan, mohon ampuni saya. Saya yang hanya ingat di saat saya merasa mati. RJ
Selasa, 01 Desember 2009
Aha!
(Saya ingatkan. Cerita ini tidak penting loh. Cuma pengalaman saya makan mie. Iya, makan mie! Jadi jangan kecewa ya bacanya.. Zzz..)
SAYA diselamatkan cewe saya! Lah kok bisa? Lah iya!
Begini ceritanya..
Saya lapar. Seharian bekerja! Di kantor, saya nggak sempat makan siang.
Akhirnya seperti biasa, saya ajak cewe saya makan sekalian antar dia pulang ke rumah.
Alih-alih belum ambil duit di ATM, jadi saya putuskan cari tempat makan yang bisa bayar pakai debit. Hmm..
Saya: "Aku lapar. Mari cari makan."
Cewe saya: "Ayo. Mari."
Saya: "Aku belum ambil duit. Cari yang bisa pakai debit."
Cewe saya: "Oke."
Dan.. Aha! Ada! Asyiknya! Nama tempatnya Mie Ceker Bandung. Begitu masuk, di pintunya ada sticker debit. Aha!
Untuk memastikan saya tanya dulu ke kasirnya: "emba, emba, bisa bayar pakai debit ya?" dan si emba jawab: "Iya bisa"
Baiklah. Saya pesan. Dan saya makan. Jadi, ya selamat makan!
Nyam-Nyam.. Enak. Sumpah banget enaknya. Bahkan waktu nulis cerita ini, saya jadi lapar lagi! :(
Saya pesan Mie Ceker Bandung Spesial. Isinya lengkap! Bakso, pangsit, ampela, jamur, dan pastinya sang primadona resto itu, ceker!
Cewe saya pesen mie yamin ceker. Standar. Hahaha..
Minumnya? Saya pesan es lemon tea. Begitu juga cewe saya. Nikmatnya! Slurrp. Baksonya yahud! Pangsitnya empuk! Hoohoo..
Saya makan dengan tenang. Meski dompet tak berduit, toh bisa bayar pakai kartu debit. Aha!
Saya menyumpit mie. Penuh gelora! Ceker demi ceker saya kuliti. Dengan kejam tentunya. Sesekali saya seruput kuahnya. Eh kurang pedas. Saya tambah sambal. Saya seruput lagi. Masih kurang pedas! Sambal lagi. Seruput. Kurang. Tambah sambal. Seruput. Kurang. Begitu terus sampai lima kali. #udik!
Saya kepedasan. Saya sikat es lemon tea. Ah asam! Wlueek! Minumannya terlalu asam!
Tau jeruk lemon? Berwarna kuning, bentuknya agak lonjong? Coba kalian belah itu jeruk lemon dua bagian. Lalu kalian hisap, emut2. Asam?? Ya seperti itu rasa minuman saya! #ngences
Dan waktu terus bergulir. Pukul 10 malam. Tinggal saya dan cewe saya yang menjadi pelanggan si mie ceker. Waktunya untuk pulang!
Saya menuju kasir. Saya: "Berapa semuanya emba?"
"45 ribu," jawab si emba kasir.
"Oke! no problemo, adios amigos," kata saya dalam hati, sembari mengeluarkan kartu debit kebanggaan.
Emba kasir: "waaah, kita cuma bisa pembayaran pakai debit BCA aja.."
Saya pun bengong. Saya kantongi lagi kartu debit Permata saya. Iya, kartu saya Permata bank! Bukan BCA! Dan artinya saya nggak bisa bayar!
Saya nggak ngerti kenapa malam itu si debit BCA tiba-tiba menjadi primadona. Dan kartu debit Permata saya seakan cuma jadi figurannya!
Saya sempat berpikir, ternyata adegan 'pelanggan harus mencuci piring karena nggak bisa bayar makan' seperti yang ada di film-film bisa jadi kenyataan! Sial!
Ceker-ceker sudah dilumat habis. Dompet tak berduit.
Saya lirik cewe saya. Saya tahu dia juga belum ambil duit di ATM. Lagi pula kartu dia ATM Niaga. Bukan BCA!
Dia korek-korek dompetnya. Dan. Aha! Aha! Aha! Ada selembar lima puluh ribuan.
Aha! Kami pun menari-nari dalam kepala masing-masing. Tarian menyambut keberuntungan! Keberuntungan yang entah datang dari goa mana..
Lima puluh ribu! Di bayar tunai! Kembali lima ribu! Clear. Mission accomplish! Pulang gegapgempita!
.......... Godeamus! Zzzz...
Eniwei. Saya sudah sering lupa ambil duit di ATM loh. ATM Permata memang agak jarang. Bahkan saya lebih sering ambil uang lewat ATM bersama. Di potong lima ribu pertransaksi. (nggak bermaksud menjelek-jelekkan bank permata loh! Suer! #TakutKayakPritaLagi).
Yah, begitulah. Dan akhirnya. Saya pun jadi bertanya-tanya. Ada berapa kata Aha! yang saya tulis di cerita ini.. Eniwei. Benar kan ceritanya nggak penting.. Saya sudah bilang loh.. Hmm.. RJ
SAYA diselamatkan cewe saya! Lah kok bisa? Lah iya!
Begini ceritanya..
Saya lapar. Seharian bekerja! Di kantor, saya nggak sempat makan siang.
Akhirnya seperti biasa, saya ajak cewe saya makan sekalian antar dia pulang ke rumah.
Alih-alih belum ambil duit di ATM, jadi saya putuskan cari tempat makan yang bisa bayar pakai debit. Hmm..
Saya: "Aku lapar. Mari cari makan."
Cewe saya: "Ayo. Mari."
Saya: "Aku belum ambil duit. Cari yang bisa pakai debit."
Cewe saya: "Oke."
Dan.. Aha! Ada! Asyiknya! Nama tempatnya Mie Ceker Bandung. Begitu masuk, di pintunya ada sticker debit. Aha!
Untuk memastikan saya tanya dulu ke kasirnya: "emba, emba, bisa bayar pakai debit ya?" dan si emba jawab: "Iya bisa"
Baiklah. Saya pesan. Dan saya makan. Jadi, ya selamat makan!
Nyam-Nyam.. Enak. Sumpah banget enaknya. Bahkan waktu nulis cerita ini, saya jadi lapar lagi! :(
Saya pesan Mie Ceker Bandung Spesial. Isinya lengkap! Bakso, pangsit, ampela, jamur, dan pastinya sang primadona resto itu, ceker!
Cewe saya pesen mie yamin ceker. Standar. Hahaha..
Minumnya? Saya pesan es lemon tea. Begitu juga cewe saya. Nikmatnya! Slurrp. Baksonya yahud! Pangsitnya empuk! Hoohoo..
Saya makan dengan tenang. Meski dompet tak berduit, toh bisa bayar pakai kartu debit. Aha!
Saya menyumpit mie. Penuh gelora! Ceker demi ceker saya kuliti. Dengan kejam tentunya. Sesekali saya seruput kuahnya. Eh kurang pedas. Saya tambah sambal. Saya seruput lagi. Masih kurang pedas! Sambal lagi. Seruput. Kurang. Tambah sambal. Seruput. Kurang. Begitu terus sampai lima kali. #udik!
Saya kepedasan. Saya sikat es lemon tea. Ah asam! Wlueek! Minumannya terlalu asam!
Tau jeruk lemon? Berwarna kuning, bentuknya agak lonjong? Coba kalian belah itu jeruk lemon dua bagian. Lalu kalian hisap, emut2. Asam?? Ya seperti itu rasa minuman saya! #ngences
Dan waktu terus bergulir. Pukul 10 malam. Tinggal saya dan cewe saya yang menjadi pelanggan si mie ceker. Waktunya untuk pulang!
Saya menuju kasir. Saya: "Berapa semuanya emba?"
"45 ribu," jawab si emba kasir.
"Oke! no problemo, adios amigos," kata saya dalam hati, sembari mengeluarkan kartu debit kebanggaan.
Emba kasir: "waaah, kita cuma bisa pembayaran pakai debit BCA aja.."
Saya pun bengong. Saya kantongi lagi kartu debit Permata saya. Iya, kartu saya Permata bank! Bukan BCA! Dan artinya saya nggak bisa bayar!
Saya nggak ngerti kenapa malam itu si debit BCA tiba-tiba menjadi primadona. Dan kartu debit Permata saya seakan cuma jadi figurannya!
Saya sempat berpikir, ternyata adegan 'pelanggan harus mencuci piring karena nggak bisa bayar makan' seperti yang ada di film-film bisa jadi kenyataan! Sial!
Ceker-ceker sudah dilumat habis. Dompet tak berduit.
Saya lirik cewe saya. Saya tahu dia juga belum ambil duit di ATM. Lagi pula kartu dia ATM Niaga. Bukan BCA!
Dia korek-korek dompetnya. Dan. Aha! Aha! Aha! Ada selembar lima puluh ribuan.
Aha! Kami pun menari-nari dalam kepala masing-masing. Tarian menyambut keberuntungan! Keberuntungan yang entah datang dari goa mana..
Lima puluh ribu! Di bayar tunai! Kembali lima ribu! Clear. Mission accomplish! Pulang gegapgempita!
.......... Godeamus! Zzzz...
Eniwei. Saya sudah sering lupa ambil duit di ATM loh. ATM Permata memang agak jarang. Bahkan saya lebih sering ambil uang lewat ATM bersama. Di potong lima ribu pertransaksi. (nggak bermaksud menjelek-jelekkan bank permata loh! Suer! #TakutKayakPritaLagi).
Yah, begitulah. Dan akhirnya. Saya pun jadi bertanya-tanya. Ada berapa kata Aha! yang saya tulis di cerita ini.. Eniwei. Benar kan ceritanya nggak penting.. Saya sudah bilang loh.. Hmm.. RJ
Rabu, 25 November 2009
Heroes!! Bag. I
(Semua tulisan dibawah ini bersifat Feature, saya bahkan campur aduk fakta dan fiksi, untuk kepentingan hiburan semata, kesalahan statement narasumber harap dimaklumi, karena saya hanya manusia biasa yang tidak luput dari lupa dan lalai. Saya tidak mau berakhir seperti Prita Mulya Sari.... here we go..)
KEDATANGANNYA di sambut dengan kalung bunga! Bangga sekali pasti orang tua Eko. Iya orang tua Eko Yuli Irawan, Atlet angkat besi yang meraih medali emas pada kejuaraan dunia angkat besi 2009 di Seoul, Korea.
Saya hadir di bandara Soekarno Hatta kala Eko di sambut oleh ketua Persatuan Angkat Besi dan Binaraga Seluruh Indonesia (PABBSI)Adang Daradjatun dan perwakilan dari Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga, Sudrajat Rasyid.
Eko di sambut dengan kalung bunga bak pahlawan. Membanggakan! Saya hampir nangis!! Culun! Hiks.. cengeng! Tapi saya memang perasa. Saya selalu merasakan kejadian dari sisi terendahnya. Mungkin empati saya kelewat tinggi, jadinya cengeng!! Sial!
Apalagi waktu Adang Daradjatun bilang: "Biar masyarakat (yang ada di bandara) tahu, kalo Eko ini adalah pahlawan kita!!"
Saya mau nangis, eh si Eko malah senyum simpul saja. Hahah!
Tak hanya Eko, saya pun tak kalah bangganya bisa meliput kedatangan Eko di bandara Soekarno Hatta kala itu. Lagi-lagi saya mau nangis. Bedebah!
Saya pun ngobrol-ngobrol sama wartawan senior Media Indonesia (yang jelas lebih senior dari saya), namanya saya lupa, sebut saja Mr.X. Dia bilang: "Orang macam Eko itu pekerja keras."
Saya: "Maksudnya bang?"
"Iya Eko itu dulunya kan cuma tukang gembala kambing," lanjut dia.
Memang sebelumnya saya sudah pernah baca pemberitaan di harian Kompas yang mengatakan Eko dulunya cuma gembala kambing di Lampung. Ya, Eko itu bisa di bilang berasal dari keluarga kurang mampu.
Mr.X melanjutkan ceritanya: "Eko itu berasal dari bawah. Ketika dia diberi kesempatan untuk bisa berhasil, pasti dia bakal kerja keras. Beda kalo Eko itu dulunya dari kalangan orang mampu, begitu diberi kesempatan jadi Atlet belum tentu dia mau kerja keras."
Saya: "Ooo.. iya juga ya bang."
Terlepas dari itu saya kembali berfikir. "Yang sudah-sudah atlet itu cuma di sanjung saat dia jaya. Sesudahnya, di hari tua, atlet hanya di anggap sejarah," batin saya.
Bahkan (kalau tidak salah) saya pernah dengar Chris John (tapi kalau tidak salah ya, saya tekankan sekali lagi, saya tidak mau berakhir seperti Prita Mulya Sari!, jadi kalau tidak salah loh). Oke, saya pernah dengar Chris John agak khawatir dengan keadaan ini. Chris John takut di masa tuanya nanti hanya dijadikan sejarah belaka. Dan saya rasa semua atlet memiliki ketakutan yang sama.
Lantas apa Eko akan seperti itu? Terbuang jua nantinya di usia tua?
Who Knows! Hidung Siapa jawabnya! Waktu yang akan menentukan!
Yang jelas, bagaimanapun juga saat ini Eko pahlawan! Eko bersama ketiga rekannya yang berjuang di Korea saat itu. Dan juga. Atlet-atlet cabang lain yang berjuang membawa nama bangsa di ajang-ajang internasional. Selamat Eko Yuli Irawan!. RJ
Senin, 23 November 2009
Tangga darurat
DI KANTOR saya ada tangga darurat. Tangganya landai dan berkelok-kelok. Asik buat duduk-duduk. Merokok. Dan meludah! Sepertinya saya gemar betul menulis ludah di blog ini. Tapi memang begitulah adanya.
Belakangan tembok tangganya baru di cat. Warnanya biru pucat. Bau catnya membuat saya merasa pusing tiap kali berada di sana.
Ya.. tangga darurat. Kedengaran biasa saja. Semua gedung kan juga punya tangga darurat! Tapi tangga kantor saya begitu berbeda. Tangga itu, jadi saksi keluh kesah saya dan teman-teman. Biasanya, menjelang malam—sekitar pukul sembilan—kami baru ke sana. Pembicaraan bawah tanah kerap kali bergaung di sana.
”Wahai enam huruf. Gue cinta banget sama elo.” celoteh teman saya suatu ketika di tangga darurat.
Enam huruf? Kalian pasti bertanya-tanya. Enam huruf, nama cewek pujaan teman saya itu. Ya, cewek itu namanya ada enam huruf. Jangan heran. Kalau dia sudah begitu. Maka salah satu dari teman yang lain akan berkata: ”Tenang, lo pasti dapet dia.”
”Cuih.” Satu yang lain mulai gegap gempita meludah. Dan yang menyandar di tembok akan membuang puntung rokoknya. Sementara saya masih asik mendengar sembari menikmati tiap butir nikotin yang terkandung di dalamnya.
Kemudian ada suara lain dari lantai seberang. Pembicaraannya tentang wawancara. Saya dengar sedikit. Sedikit tak mengerti maksud saya. ”Ah dia sih emang begitu. Kalau di wawancarai nggak nyambung!” Ah ternyata soal wawancara..
Belum lagi saya habis mendengar. Teman saya yang sempat meludah, bangkit dan bilang: ”gue duluan, masih mau ngetik.” yang lain langsung mengangguk.
Hanya sejenak. Sejenak sebelum akhirnya genderang perang di tabuh. Ejek mengejek di mulai. ”Heh bibir lo panjang bener. Kalo ciuman, pasti dari jarak 10 senti udah kena ya.” Tawa kemenangan! Menang KO!
Dan yang di ejek, yang bibirnya paling panjang di seantero kantor itu selalu tak mau kalah. Dia bilang: ”Diam kau. Gendut. Babi air!” Hingga malam pun kian larut, dan dingin tak bisa lagi menahan tawa bahak-bahak kami.
Yang jelas, acap kali begitu. Di tangga darurat. Membuat suasana di sana selalu hangat dan tak pernah membuat saya bosan.
Seorang fotografer kantor saya pernah menuding tangga darurat kantor kami, sebagai tangga curhat! Curahan hati. Tak peduli tawa pilu senang duka. Tumpah ruah di sana. Saya pun setuju jika dikatakan demikian.
Saya jadi ingat. Belakangan saya sempat hitung jumlah anak tangga kantor. Di mulai dari anak tangga pertama ruangan redaksi saya. Dari lantai sembilan! Jumlahnya? Jumlahnya 120 anak tangga.
Terkadang saya memang sinting sendiri. Demi tulisan berjudul tangga darurat, yang entah ada atau tidak pembacanya ini. Saya rela menghitung jumlah anak tangga kantor saya. Tapi menulis itu butuh data yang akurat! Dan keakuratan berapa jumlah anak tangga dari lantai sembilan ruang redaksi, hanya bisa di dapat setelah di hitung sendiri. Toh hitungnya tak pakai rumus. Dan mungkin. Dan mungkin sebelum saya posting tulisan ini. Hanya saya dan tukang bangunannya yang tau berapa jumlah anak tangga itu. Edan!
Tangga darurat. Hmm. Sering kali diludahi, sampahi, kentuti. Tangga darurat si saksi bisu! Saksi yang melebihi kamera CCTV di manapun di dunia ini! Saksi yang melebihi Rani Juliani dalam kasus Antasari bahkan! Tangga darurat yang pernah menyelamatkan rasa was-was saya beserta seluruh penghuni kantor, kala gempa Yogya dan Ujung Kulon turut melanda Jakarta.
Dan mulai detik ini. Bahagialah kalian yang kantornya punya tangga darurat! Datanglah kesana bergerombol-gerombol, duyun-duyun. Merokoklah sebatang dua batang. Dan sedikitlah bercerita. RJ
Belakangan tembok tangganya baru di cat. Warnanya biru pucat. Bau catnya membuat saya merasa pusing tiap kali berada di sana.
Ya.. tangga darurat. Kedengaran biasa saja. Semua gedung kan juga punya tangga darurat! Tapi tangga kantor saya begitu berbeda. Tangga itu, jadi saksi keluh kesah saya dan teman-teman. Biasanya, menjelang malam—sekitar pukul sembilan—kami baru ke sana. Pembicaraan bawah tanah kerap kali bergaung di sana.
”Wahai enam huruf. Gue cinta banget sama elo.” celoteh teman saya suatu ketika di tangga darurat.
Enam huruf? Kalian pasti bertanya-tanya. Enam huruf, nama cewek pujaan teman saya itu. Ya, cewek itu namanya ada enam huruf. Jangan heran. Kalau dia sudah begitu. Maka salah satu dari teman yang lain akan berkata: ”Tenang, lo pasti dapet dia.”
”Cuih.” Satu yang lain mulai gegap gempita meludah. Dan yang menyandar di tembok akan membuang puntung rokoknya. Sementara saya masih asik mendengar sembari menikmati tiap butir nikotin yang terkandung di dalamnya.
Kemudian ada suara lain dari lantai seberang. Pembicaraannya tentang wawancara. Saya dengar sedikit. Sedikit tak mengerti maksud saya. ”Ah dia sih emang begitu. Kalau di wawancarai nggak nyambung!” Ah ternyata soal wawancara..
Belum lagi saya habis mendengar. Teman saya yang sempat meludah, bangkit dan bilang: ”gue duluan, masih mau ngetik.” yang lain langsung mengangguk.
Hanya sejenak. Sejenak sebelum akhirnya genderang perang di tabuh. Ejek mengejek di mulai. ”Heh bibir lo panjang bener. Kalo ciuman, pasti dari jarak 10 senti udah kena ya.” Tawa kemenangan! Menang KO!
Dan yang di ejek, yang bibirnya paling panjang di seantero kantor itu selalu tak mau kalah. Dia bilang: ”Diam kau. Gendut. Babi air!” Hingga malam pun kian larut, dan dingin tak bisa lagi menahan tawa bahak-bahak kami.
Yang jelas, acap kali begitu. Di tangga darurat. Membuat suasana di sana selalu hangat dan tak pernah membuat saya bosan.
Seorang fotografer kantor saya pernah menuding tangga darurat kantor kami, sebagai tangga curhat! Curahan hati. Tak peduli tawa pilu senang duka. Tumpah ruah di sana. Saya pun setuju jika dikatakan demikian.
Saya jadi ingat. Belakangan saya sempat hitung jumlah anak tangga kantor. Di mulai dari anak tangga pertama ruangan redaksi saya. Dari lantai sembilan! Jumlahnya? Jumlahnya 120 anak tangga.
Terkadang saya memang sinting sendiri. Demi tulisan berjudul tangga darurat, yang entah ada atau tidak pembacanya ini. Saya rela menghitung jumlah anak tangga kantor saya. Tapi menulis itu butuh data yang akurat! Dan keakuratan berapa jumlah anak tangga dari lantai sembilan ruang redaksi, hanya bisa di dapat setelah di hitung sendiri. Toh hitungnya tak pakai rumus. Dan mungkin. Dan mungkin sebelum saya posting tulisan ini. Hanya saya dan tukang bangunannya yang tau berapa jumlah anak tangga itu. Edan!
Tangga darurat. Hmm. Sering kali diludahi, sampahi, kentuti. Tangga darurat si saksi bisu! Saksi yang melebihi kamera CCTV di manapun di dunia ini! Saksi yang melebihi Rani Juliani dalam kasus Antasari bahkan! Tangga darurat yang pernah menyelamatkan rasa was-was saya beserta seluruh penghuni kantor, kala gempa Yogya dan Ujung Kulon turut melanda Jakarta.
Dan mulai detik ini. Bahagialah kalian yang kantornya punya tangga darurat! Datanglah kesana bergerombol-gerombol, duyun-duyun. Merokoklah sebatang dua batang. Dan sedikitlah bercerita. RJ
Jumat, 20 November 2009
No passionate!!
"PERGILAH kau ke laut! Tangkap udang serta ubur-ubur. Nanti kau di makan ikan paus! Lalu di tolong lumba-lumba. Dan lumba-lumba pun bernyanyi acapella.."
Entah apa yang merasuki saya. Sertamerta kalimat di atas muncul dikepala. Ya saya tulis saja..
Saya tidak pulang malam ini. Saya mau ke laut. Tapi di Jakarta cuma ancol lautnya. Pula hitam airnya. Huh! Saya berubah pikiran. Jadi saya katakan lagi, saya tidak pulang malam ini. Dan entah saya mau kemana, dan apa alasannya..
Saya pun chatting. Pakai komputer kantor. Beruntung, dua teman baik sedang online. Saya tantang mereka ber*pilsener.
Mereka menyanggupi, seraya saya kembali menantang: "kuat berapa krat?" dan yang ditantang tertawa sinis.
Perkiraan saya malam ini akan hujan. Jadi dinginnya akan kami hajar dengan sebotol *pilsener. Ya, satu botol!! Tantangan berkrat-krat pilsener tadi hanya guyon belaka. Tapi sial! Saya bukan mama laurent! Dan malam pun tak hujan.. :(
Toh malam berjalan seperti biasanya. Tak ada beda. Seorang-seorang dari kami mulai minum. Di taman. Taman yang juga masih seperti biasanya. Ramai sepi. Orangnya ramai tapi suaranya sepi. Hanya Taro menemani. Ya, Taro snack!! Empat ribu perak harganya.
Lambat laun saya jadi ingin ke toilet. Selalu saja seperti itu. *Pilsener di beli hanya untuk dibuang lagi, secara cepat. Selang beberapa menit usai ditenggak! Dan saya pun ke toilet. Tapi toiletnya tak ada. Jadi saya duduk saja, menahan-nahan! Begitu pula teman saya.
Dan malam pun melarutkan dirinya sendiri. Larut dalam angin. Sepoi-sepoi lagi. Asik! Saya jadi ingin berdendangkumandang. Lagunya lagu lama. Andrew WK. Saya nggak hapal lirik. Cuma hapal nada. Dan saya pun bernyanyi na..na..na..!
Hingga waktu tau-tau jadi jam sembilan. Gawat! Teman saya minta pulang. Karena dia naik angkot. Dan larut malam itu tak berangkot! Sial. Berarti kesenangan berakhir di angkot!
Dan kami pun pulang. Ah ya, saya akhirnya pulang juga. Padahal tadi saya enggan pulang. Saya memang labil. Kadang. Atau sering.
Pernah suatu kali saya janji pergi. Lantas saya batalkan babibuta. Begitu seringkali.
Sempat terpikir untuk balik ke kantor, menyepi di tangga darurat. Tangga darurat kantor saya! Tangganya landai. Asik buat duduk-duduk......
Kalian mau tau cerita di balik tangga darurat kantor saya? Coba kalian cek posting saya tentang tangga darurat, mungkin saja sudah ada. Kalau belum, berarti sedang saya tulis..
Dan apa yang saya rasakan kini. Jadi teringat kalimat yang muncul di kepala saya awal tadi. Sepertinya kalimat itu sengaja "dimunculkan" tuhan, untuk orang-orang yang sedang tak bergairah seperti saya ini: "pergilah kau ke laut! Tangkap udang serta ubur-ubur. Nanti kau di makan ikan paus! Lalu di tolong lumba-lumba. Dan lumba-lumba pun bernyanyi acapella.." RJ. :)
Penulis Alay
JIKA benar kami adalah penulis alay, maka sebutlah begitu. Karena pada dasarnya apapun kami tulis. Kami? Ya, aku dan dia! Sebut saja namanya Jati Mahatmaji. Kawan lama, waktu di Sekolah Dasar dulu.
Konon, waktu kecil Jati hampir sempat di panggil Yati, gara-gara di kira perempuan! Rambutnya keriting, afro! Setelah sekian lama nggak ketemu, ujug-ujug Jati muncul di Facebook, dengan berpuluh-puluh ratus juta keanehannya.
Saya sempat berpikir Jati sudah gila. “Jati sudah banyak berubah. 180 derajat dari Jati jaman SD” batin saya. Itu loh, tulisannya! Tulisan-tulisannya yang saya temukan di blog keroyokan bertajuk www.ceritamahasiswa.multiply.com membuat saya yakin, ternyata Jati memang salah satu penulis gila!
Tapi yang jelas ada satu hal. Satu hal yang benar-benar bikin saya iri dari seorang Jati.. Sempaknya! Benar, sempaknya! Dari sebuah ceritanya di blog saya prediksikan sempaknya merk Hings! Maaf kalau salah. Tapi setahu saya sempak merk itu sekarang susah di dapat! Dan saya nggak punya! *nangis darah lewat pantat..
Saya sempat ngomong dalam hati begini: “Enak ya kamu Jat, bisa berHings-Hings ria setiap hari” Sementara saya, apa? Hanya bisa berpierrecardin-Pierrecardin ria. Paling banter ya ber GT-Man ria! Dunia ini memang tidak adil.
Saya melanjutkan lagi dalam hati: ”Kapan ya kita bisa jalan bareng Jat? Supaya saya bisa curi sempakmu yang merk Hings!”
Tapi. Tapi kalau Jati dengar ini pasti dia mau memberikan satu sempaknya untuk saya. Oh terima kasih Jati! Apa mungkin?!
Ah.. kembali ke tulisan Jati. Gaya tulisannya sulit di mengerti. Dan menjijikan! tapi demikian juga tulisannya menjadi kian bisa di nikmati. Aku sayang kau Jat. Kita memang penulis alay! *merasa bangga?
Suatu ketika kamu harus masuk ke blog keroyokan dia. Nih saya kasih sekali lagi linknya: www.ceritamahasiswa.multiply.com Kamu pasti muntah! Tapi mau nambah! Tulisannya sangat alay ria jenaka. Lebih alay ketimbang peraih nobel alayisme sebelumnya. Liar dan menggigit! halah!
Jati memang langka!! Saya akui! Demi tuhan dan segala ciptaannya! Jati memang berusaha menghancurleburkan mainstream dunia tulis menulis..
Konon, waktu kecil Jati hampir sempat di panggil Yati, gara-gara di kira perempuan! Rambutnya keriting, afro! Setelah sekian lama nggak ketemu, ujug-ujug Jati muncul di Facebook, dengan berpuluh-puluh ratus juta keanehannya.
Saya sempat berpikir Jati sudah gila. “Jati sudah banyak berubah. 180 derajat dari Jati jaman SD” batin saya. Itu loh, tulisannya! Tulisan-tulisannya yang saya temukan di blog keroyokan bertajuk www.ceritamahasiswa.multiply.com membuat saya yakin, ternyata Jati memang salah satu penulis gila!
Tapi yang jelas ada satu hal. Satu hal yang benar-benar bikin saya iri dari seorang Jati.. Sempaknya! Benar, sempaknya! Dari sebuah ceritanya di blog saya prediksikan sempaknya merk Hings! Maaf kalau salah. Tapi setahu saya sempak merk itu sekarang susah di dapat! Dan saya nggak punya! *nangis darah lewat pantat..
Saya sempat ngomong dalam hati begini: “Enak ya kamu Jat, bisa berHings-Hings ria setiap hari” Sementara saya, apa? Hanya bisa berpierrecardin-Pierrecardin ria. Paling banter ya ber GT-Man ria! Dunia ini memang tidak adil.
Saya melanjutkan lagi dalam hati: ”Kapan ya kita bisa jalan bareng Jat? Supaya saya bisa curi sempakmu yang merk Hings!”
Tapi. Tapi kalau Jati dengar ini pasti dia mau memberikan satu sempaknya untuk saya. Oh terima kasih Jati! Apa mungkin?!
Ah.. kembali ke tulisan Jati. Gaya tulisannya sulit di mengerti. Dan menjijikan! tapi demikian juga tulisannya menjadi kian bisa di nikmati. Aku sayang kau Jat. Kita memang penulis alay! *merasa bangga?
Suatu ketika kamu harus masuk ke blog keroyokan dia. Nih saya kasih sekali lagi linknya: www.ceritamahasiswa.multiply.com Kamu pasti muntah! Tapi mau nambah! Tulisannya sangat alay ria jenaka. Lebih alay ketimbang peraih nobel alayisme sebelumnya. Liar dan menggigit! halah!
Jati memang langka!! Saya akui! Demi tuhan dan segala ciptaannya! Jati memang berusaha menghancurleburkan mainstream dunia tulis menulis..
Rabu, 18 November 2009
Rangga Jingga
AKU tak ingin menjadi senja yang memanggil turun mentari, hingga membuat penglihatanmu atas keindahan semesta alam sirna seketika..
Namun aku juga bukanlah pagi yang akan menjanjikan mu sebuah kehidupan baru..
Namun aku juga bukanlah pagi yang akan menjanjikan mu sebuah kehidupan baru..
Selasa, 17 November 2009
Aku di hari Jum'at
SEMUANYA berjalan seperti biasa. Kendaraan-kendaraan tengik melambat dengan bodohnya, beriringan layaknya semut. Bedanya mereka berbicara, melalui klakson-klakson pancaragam bunyi. Mulai dari bunyi klakson standard, bunyi klaskson bus, hingga bunyi terompet roti keliling. Dan aku. Aku terjebak di dalam helm busuk berbau menyerupai bau di tempat pembuangan akhir. Yang sangat akhir. Paling akhir. Saking baunya. Bodoh. (Aku berjanji mengganti helm ini sejak setahun lalu, hingga kini helm itu warnanya sudah pudar, lapisan busa-nya mencoklatkan diri akibat debu).
Ternyata bukan aku seorang. Bahkan bisa kukatakan 80 persen pengendara motor di sekitarku menggunakan helm sampah. Rupanya tak keru-keruan. Dari melihatnya saja aku bisa tahu beberapa helm dari mereka itu lebih dashyat baunya. Cuih!
Aku melayangkan pandangan ke arah samping, ke deretan tiang-tiang pagar sebuah pertokoan, sementara kemacetan ini sendiri seakan tak berujung. Tepat di depan pandanganku kini adalah spanduk dari institusi POLRI. Isinya bertuliskan apa yang baru saja kubicarakan. Tentang helm! Polri menghimbau penggunaan helm dengan baik dan benar. Di pakai, lalu di pasang talinya hingga terdengar bunyi ’klik’. Dan yang paling menimbulkan argumentasi adalah helm anjuran harus berkode SNI! Ya, SNI atau Standard Nasional Indonesia. Lucunya kata Standard yang harusnya memakai ”D” di tuliskan dengan ”T”, menjadi Standart Nasional Indonesia. Tapi lupakanlah penulisan itu, toh aku pun belum sempat mencari tahu apakah jika di tulis dengan huruf ”T”, sah-sah saja atau tidak.
Yang jelas jika memang harus ber-SNI apa jadinya helm-helm impor keluaran luar negeri, yang notabene-nya sangat terjamin keamanannya namun tidak berlogo SNI? Perutku tergelitik riang. Gejolak tawa yang tertahan membuatku seraya mau muntah pada saat yang sama. Muak. Muak dengan pembuat peraturan yang nyatanya dirinya saja enggan mematuhi peraturan tersebut. Sering kali aku melihat. Sebelumnya maaf. Tapi tak jarang aku melihat seorang oknum aparatur negara itu tak menggunakan helm sama sekali ketika berpatroli. Mengingat hal itu, tawaku tak tertahan lagi. Aku tertawa. Terkekeh. Motor disebelahku sempat menengok ke arahku dan buang muka. Di kiranya aku orang gila! Orang gila tapi mengendarai motor!? Lalu siapa yang gila sekarang?!
Akhirnya aku sudah mencapai 50 meter jauhnya, terhitung sejak melihat spanduk tadi. Sementara isi dan tetek bengek pesan spanduk terlupakan, kemacetan belum juga menemukan pangkalnya! Klakson-klakson kembali diperdengarkan. Yang bunyinya menyerupai terompet roti kelilinglah yang paling ramai dan berisik. Gaduh sekali siang itu. Teriknya matahari membuat nuansa siang itu seperti di neraka! Sedikit saja senggolan antara pengemudi motor, pasti pertikaian akan terjadi! Konon pertikaian tak akan menghampiri pengemudi mobil karena mereka tidak kepanasan. Kecuali Bus dan Angkot!
Hampir saja aku menginjak sepotong kaki beralas sendal butut. Orangnya besar, sebesar Gorilla tapi tanpa bulu mengelilingi tubuhnya. Kakinya selintas hitam terbakar matahari. Kukunya panjang dan tak kalah hitamnya dengan warna kulit. Tai kuku! Untung tak terinjak! Klo kakinya terinjak, aku bisa ditendangnya saat itu juga! Dan ditendang, berarti tai kukunya bisa saja loncat kearahku!
”KOSONG KOSONG, KIRI KOSONG!” cepat saja suara lantang itu membuyarkan lamunanku dari tai kuku. Ternyata itu suara kenek bus yang mencoba membantu sang sopir memotong jalan kiri. Klakson kembali menggelegar. Kali ini dari mobil pribadi yang tak rela jalannya di potong bus.
Aku kembali menatap jalur depan. Sepintas dikejauhan terlihat seonggok kontainer. Sedari tadi aku perhatikan tak bergerak sedikit pun. Spekulasiku mengatakan kontainer itu sedang mogok. Menjadi penyebab segala kekacauan ini! Sialan!
Ku geser sedikit jaket di lengan, hingga jam merk Casio menyembul keluar dari dalamnya. Pukul dua siang lewat tiga puluh menit! Aku harus segera sampai ke kantor, pikirku! Jam tiga paling lambat! Tidak tidak, sebenarnya jam empat pun tak apa. Sabar!
Pandangan kutujukan ke langit. Masih panas. Terik. Puluhan derajat celcius. Entahlah. Yang pasti tak ada awan hitam di sana. Aku semakin mendekati kontainer sialan itu! Ingin sekali memastikan apakah benar dia penyebab semuanya. Aku memaki dalam hati! Panas! Emosi jiwa!
Dan sampailah aku di sebelahnya. Benar-benar di sebelah container itu. Bannya hampir setinggi motorku. Asap knalpotnya mengepul dari samping bawah. Dan mesinnya menyala keras! Dia pun berjalan perlahan! Ternyata bukan kontainer penyebabnya! Demi tai kuku dan helm yang berbau sampah ini, maafkan saya yang curiga kepada kontainer! Lantas apa? Apa penyebab semua kemacetan ini?!
Pandangan kemudian kualihkan ke arah bodi kontainer. Tulisan KhongGuam tertera jelas di bodinya yang mulai berkarat. Entah apa arti di balik tulisan tersebut. Mungkin itu sebuah merk produk tertentu. Atau nama perusahaan di mana kontainer itu bekerja. Bekerja siang dan malam dengan hanya di beri upah isi bensin dan ganti oli tiap bulan! Syukur-syukur jika di ajak tune-up sekali sebulan. Jika kontainer itu manusia, mungkin sudah teriak sekarang!
Aku terlalu lama melamunkan arti KhongGuam. Hingga tak sadar asap kontainer mengepul deras, membabi buta ke mukaku! Lumayan make-up gratis kelakarku. Sialan tujuh turunan itu kontainer! Lagi-lagi jika kontainer itu manusia mungkin sekarang sudah terkikik puas melihat mukaku penuh asap knalpotnya! Berengsek!
Lagi-lagi pikiranku kembali ke kata KhongGuam. Aku eja betul tiap hurufnya dalam hati. Sekilas seperti nama produk biskuit. Biskuit sejuta umat, yang hampir terbeli oleh semua lapisan masyarakat. Mulai dari kelas rendahan hingga kelas birokrat. Hah tapi apa iya. Peduli amat! Sampailah aku di lampu merah. Perempatan pasar Jumat. Aku menoleh. Kemacetan masih panjang dibelakang. Si motor dengan klakson terompet tukang roti keliling kini di sebelah kiri ku. Semoga dia tidak membunyikan klakson! Dan sebelah kanan! Sebelah kanan ada si Gorilla tai kuku! Matanya menatap tajam di balik helm hijau kumal bertempelkan sticker Malrboro. Lantas ia tersenyum. Tersenyum ke arahku yang awalnya memandang jijik tai kukunya. Slogan bodoh yang berbunyi ’jangan menilai buku dari sampulnya’ ternyata berlaku di sini. Badan mirip Gorilla, ber-tai kuku yang sempat ku sumpahserapahi dalam hati itu, sejatinya baik dan murah senyum!
Aku balas senyum itu dengan kecut. Dia tak peduli, lalu kembali menatap ke depan. Aku pun buang muka. Menatap lampu merah yang tak kunjung hijau.
Datanglah seonggok bocah kearahku meminta uang –kukatakan seonggok bocah, karena kehadirannya acap kali hanya di anggap patung di pinggir jalan—mengais-ngais receh. Kalau tak diberi uang, mulutnya akan komat-kamit menggerutu. Aku pun tak memberi uang. Mulutnya berkecumik entah apa yang dikatakannya. Tapi dari gerak bibirnya aku bisa membaca, ’dasar pelit’! Sial!
Tak apalah pikirku. Toh dia hanya anak kecil yang salah aturan. Salah didikan orang tua. Orang tuanya demikian juga karena ’terbuang negara’. Hidup di negara yang secara tidak langsung telah membuangnya di jalanan tanpa membekali setetes pengetahuan pun.
’TET TOWET TOWET’ suara yang tak asing lagi. Sial betul aku hari itu, tiga kali mendengar klakson bising dari motor terompet roti keliling. Rupanya lampu sudah hijau. Klakson-klakson bersahut-sahutan mengusir kendaraan di depannya agar segera tanjap gas. Cepat. Sebelum lampunya kembali merah.
Jalanan mulai melancar, aku tak habis pikir apa gerangan yang membuat kemacetan tadi. Apa lampu merah? Ah klise! Lampu merah sudah berdiri di situ bahkan sejak 10 tahun lalu, sejak jamannya aku masih menggunakan seragam putih biru pergi ke sekolah. Masa iya baru kali ini menimbulkan kemacetan siang bolong. Tidak mungkin! Lagi-lagi lantas apa?
Aku lajukan kecepatan motor di atas rata-rata. Hampir 90 kilometer. Harap-harap cemas, segera sampai di kantor. Belum lagi sampai perempatan lebak bulus, kemacetan kembali merongrong. Naas.
Jika ini pagi hari, wajar rasanya macet melanda. Tapi ini hampir pukul. Aku lihat kembali jam tangan Casio. Ternyata pukul tiga lewat sepuluh menit. Aneh jika macet jam segini.
Beruntung, tak lama aku sampai lampu merah yang kebetulan posisinya sedang hijau. Ku tancap gas dengan bunyikan klakson panjang, suaranya lebih mengganggu dibanding suara terompet roti keliling. Dan berhasil. Aku tidak terjebak lampu merah.
Perjalanan ku sambung dengan melewati komplek perumahan Pondok Indah (PI). Komplek yang konon hanya ditinggali oleh orang-orang kaya dan para ekspatriat muda. Terlihat jelas, jurang perbedaan antara si kaya dan si miskin di sini.
Kupapasi tukang gorengan pikul. Tubuh dan pikulannya terlunta-lunta di hadapan megahnya bangunan komplek PI. Semoga ada yang membeli dagangannya. Aku menerawang. Sesampainya tukang gorengan di rumah dia akan memamerkan jerih payahnya kepada sang anak, dengan berkata: ”Lihat ayah dapat lima puluh ribu.”
Sang anak akan menyambut: ”Horee”
Terawanganku yang kedua adalah, jika si tukang gorengan tak membawa uang banyak. Lalu dengan hati-hati si tukang gorengan menaruh pikulannya lemas, berharap anak dan istrinya sudah tertidur pulas di dalam bilik kontrakan 3x4, sehingga ia tak perlu menjelaskan betapa sulitnya mencari selembar 50 ribu jaman sekarang.
Aku sampai di ujung pintu keluar komplek PI. Bangunan tak kalah megah menyambut dengan sombong. Tak kalah sombong dengan apa yang kulalui barusan. Namanya juga hampir mirip, hanya di tambah kata ’Mall’ dibelakangnya. Menjadi Pondok Indah Mall (PIM). Bangunan itu masih saja terlihat angkuh. Tak hanya satu. Bangunan itu ada dua. PIM I dan PIM II. Aku sering masuk ke dalamnya. Lantas, apakah aku juga bisa dikatakan angkuh karena telah berupaya masuk kedalamnya beberapa kali? Entahlah.
Aku pun dipaksa belok kiri lantaran arah kantorku memang harus belok kiri. Dan terlihatlah di seberang sana, Masjid Raya Pondok Indah. Kelihatannya ramai nian di sana. Seperti ada pasar malam. Bedanya ini sore. Ya, sore! Bukan siang lagi! Berarti namanya pasar Sore!
Ngomong-ngomong kau tahu pasar malam? Pasar yang di dalamnya terdapat berbagai permainan liar. Mereka berkeliling dari satu daerah ke daerah lain menjajakan permainan demi, lagi-lagi receh! Cuih! Aku benci mendengar kata-kata receh. Seakan uang itu tak ada harganya! Padahal dulu dua puluh lima perak masih ada artinya. Dulu.
Pikiranku mengambang jauh. Sangat jauh. Berpikir sejak kapan ada pasar macam itu di Masjid Raya Pondok Indah. Pikiranku berkecamuk. Perang batin kedua kembali tersulut, menyaingi Perang Dunia jilid dua yang mencakup Eropa tengah dan timur yang menewaskan lebih dari 50 juta manusia. Sinting!
Kau tahu apa? Pikiranku semakin menggila saat menyadari hari itu adalah hari Jum’at! Dan aku lupa sholat Jum’at! Tobat!
Ku rentet semua kejadian tadi, di mulai sejak kemacetan. Ternyata semuanya akibat itu hari Jum’at. Semua pria –entah itu berangkat ke kantor atau baru mau keluar makan siang—baru pergi lewat pukul satu, lantaran sholat Jum’at dulu. Masjid Raya PI yang layaknya pasar malam juga lantaran hari Jum’at. Para pedagang biasa menjajakan barang dagangan di sekitar masjid, dengan harapan orang-orang –sehabis sholat Jum’at akan membelinya— dan yang kusaksikan tadi, mungkin hanyalah sisa-sisa pedagang yang akan pulang, mengingat ini sudah terlampau sore, pukul setengah empat! Tak mungkin masih ada orang sholat Jum’at sore-sore begini.
Dan aku yang tak menyadari semua ini, telah melanglangbuanakan pikiranku ke macam-macam tempat. Di balik helm busuk ini. Termakan dalam dunia imajinerku sendiri. RJ
Ternyata bukan aku seorang. Bahkan bisa kukatakan 80 persen pengendara motor di sekitarku menggunakan helm sampah. Rupanya tak keru-keruan. Dari melihatnya saja aku bisa tahu beberapa helm dari mereka itu lebih dashyat baunya. Cuih!
Aku melayangkan pandangan ke arah samping, ke deretan tiang-tiang pagar sebuah pertokoan, sementara kemacetan ini sendiri seakan tak berujung. Tepat di depan pandanganku kini adalah spanduk dari institusi POLRI. Isinya bertuliskan apa yang baru saja kubicarakan. Tentang helm! Polri menghimbau penggunaan helm dengan baik dan benar. Di pakai, lalu di pasang talinya hingga terdengar bunyi ’klik’. Dan yang paling menimbulkan argumentasi adalah helm anjuran harus berkode SNI! Ya, SNI atau Standard Nasional Indonesia. Lucunya kata Standard yang harusnya memakai ”D” di tuliskan dengan ”T”, menjadi Standart Nasional Indonesia. Tapi lupakanlah penulisan itu, toh aku pun belum sempat mencari tahu apakah jika di tulis dengan huruf ”T”, sah-sah saja atau tidak.
Yang jelas jika memang harus ber-SNI apa jadinya helm-helm impor keluaran luar negeri, yang notabene-nya sangat terjamin keamanannya namun tidak berlogo SNI? Perutku tergelitik riang. Gejolak tawa yang tertahan membuatku seraya mau muntah pada saat yang sama. Muak. Muak dengan pembuat peraturan yang nyatanya dirinya saja enggan mematuhi peraturan tersebut. Sering kali aku melihat. Sebelumnya maaf. Tapi tak jarang aku melihat seorang oknum aparatur negara itu tak menggunakan helm sama sekali ketika berpatroli. Mengingat hal itu, tawaku tak tertahan lagi. Aku tertawa. Terkekeh. Motor disebelahku sempat menengok ke arahku dan buang muka. Di kiranya aku orang gila! Orang gila tapi mengendarai motor!? Lalu siapa yang gila sekarang?!
Akhirnya aku sudah mencapai 50 meter jauhnya, terhitung sejak melihat spanduk tadi. Sementara isi dan tetek bengek pesan spanduk terlupakan, kemacetan belum juga menemukan pangkalnya! Klakson-klakson kembali diperdengarkan. Yang bunyinya menyerupai terompet roti kelilinglah yang paling ramai dan berisik. Gaduh sekali siang itu. Teriknya matahari membuat nuansa siang itu seperti di neraka! Sedikit saja senggolan antara pengemudi motor, pasti pertikaian akan terjadi! Konon pertikaian tak akan menghampiri pengemudi mobil karena mereka tidak kepanasan. Kecuali Bus dan Angkot!
Hampir saja aku menginjak sepotong kaki beralas sendal butut. Orangnya besar, sebesar Gorilla tapi tanpa bulu mengelilingi tubuhnya. Kakinya selintas hitam terbakar matahari. Kukunya panjang dan tak kalah hitamnya dengan warna kulit. Tai kuku! Untung tak terinjak! Klo kakinya terinjak, aku bisa ditendangnya saat itu juga! Dan ditendang, berarti tai kukunya bisa saja loncat kearahku!
”KOSONG KOSONG, KIRI KOSONG!” cepat saja suara lantang itu membuyarkan lamunanku dari tai kuku. Ternyata itu suara kenek bus yang mencoba membantu sang sopir memotong jalan kiri. Klakson kembali menggelegar. Kali ini dari mobil pribadi yang tak rela jalannya di potong bus.
Aku kembali menatap jalur depan. Sepintas dikejauhan terlihat seonggok kontainer. Sedari tadi aku perhatikan tak bergerak sedikit pun. Spekulasiku mengatakan kontainer itu sedang mogok. Menjadi penyebab segala kekacauan ini! Sialan!
Ku geser sedikit jaket di lengan, hingga jam merk Casio menyembul keluar dari dalamnya. Pukul dua siang lewat tiga puluh menit! Aku harus segera sampai ke kantor, pikirku! Jam tiga paling lambat! Tidak tidak, sebenarnya jam empat pun tak apa. Sabar!
Pandangan kutujukan ke langit. Masih panas. Terik. Puluhan derajat celcius. Entahlah. Yang pasti tak ada awan hitam di sana. Aku semakin mendekati kontainer sialan itu! Ingin sekali memastikan apakah benar dia penyebab semuanya. Aku memaki dalam hati! Panas! Emosi jiwa!
Dan sampailah aku di sebelahnya. Benar-benar di sebelah container itu. Bannya hampir setinggi motorku. Asap knalpotnya mengepul dari samping bawah. Dan mesinnya menyala keras! Dia pun berjalan perlahan! Ternyata bukan kontainer penyebabnya! Demi tai kuku dan helm yang berbau sampah ini, maafkan saya yang curiga kepada kontainer! Lantas apa? Apa penyebab semua kemacetan ini?!
Pandangan kemudian kualihkan ke arah bodi kontainer. Tulisan KhongGuam tertera jelas di bodinya yang mulai berkarat. Entah apa arti di balik tulisan tersebut. Mungkin itu sebuah merk produk tertentu. Atau nama perusahaan di mana kontainer itu bekerja. Bekerja siang dan malam dengan hanya di beri upah isi bensin dan ganti oli tiap bulan! Syukur-syukur jika di ajak tune-up sekali sebulan. Jika kontainer itu manusia, mungkin sudah teriak sekarang!
Aku terlalu lama melamunkan arti KhongGuam. Hingga tak sadar asap kontainer mengepul deras, membabi buta ke mukaku! Lumayan make-up gratis kelakarku. Sialan tujuh turunan itu kontainer! Lagi-lagi jika kontainer itu manusia mungkin sekarang sudah terkikik puas melihat mukaku penuh asap knalpotnya! Berengsek!
Lagi-lagi pikiranku kembali ke kata KhongGuam. Aku eja betul tiap hurufnya dalam hati. Sekilas seperti nama produk biskuit. Biskuit sejuta umat, yang hampir terbeli oleh semua lapisan masyarakat. Mulai dari kelas rendahan hingga kelas birokrat. Hah tapi apa iya. Peduli amat! Sampailah aku di lampu merah. Perempatan pasar Jumat. Aku menoleh. Kemacetan masih panjang dibelakang. Si motor dengan klakson terompet tukang roti keliling kini di sebelah kiri ku. Semoga dia tidak membunyikan klakson! Dan sebelah kanan! Sebelah kanan ada si Gorilla tai kuku! Matanya menatap tajam di balik helm hijau kumal bertempelkan sticker Malrboro. Lantas ia tersenyum. Tersenyum ke arahku yang awalnya memandang jijik tai kukunya. Slogan bodoh yang berbunyi ’jangan menilai buku dari sampulnya’ ternyata berlaku di sini. Badan mirip Gorilla, ber-tai kuku yang sempat ku sumpahserapahi dalam hati itu, sejatinya baik dan murah senyum!
Aku balas senyum itu dengan kecut. Dia tak peduli, lalu kembali menatap ke depan. Aku pun buang muka. Menatap lampu merah yang tak kunjung hijau.
Datanglah seonggok bocah kearahku meminta uang –kukatakan seonggok bocah, karena kehadirannya acap kali hanya di anggap patung di pinggir jalan—mengais-ngais receh. Kalau tak diberi uang, mulutnya akan komat-kamit menggerutu. Aku pun tak memberi uang. Mulutnya berkecumik entah apa yang dikatakannya. Tapi dari gerak bibirnya aku bisa membaca, ’dasar pelit’! Sial!
Tak apalah pikirku. Toh dia hanya anak kecil yang salah aturan. Salah didikan orang tua. Orang tuanya demikian juga karena ’terbuang negara’. Hidup di negara yang secara tidak langsung telah membuangnya di jalanan tanpa membekali setetes pengetahuan pun.
’TET TOWET TOWET’ suara yang tak asing lagi. Sial betul aku hari itu, tiga kali mendengar klakson bising dari motor terompet roti keliling. Rupanya lampu sudah hijau. Klakson-klakson bersahut-sahutan mengusir kendaraan di depannya agar segera tanjap gas. Cepat. Sebelum lampunya kembali merah.
Jalanan mulai melancar, aku tak habis pikir apa gerangan yang membuat kemacetan tadi. Apa lampu merah? Ah klise! Lampu merah sudah berdiri di situ bahkan sejak 10 tahun lalu, sejak jamannya aku masih menggunakan seragam putih biru pergi ke sekolah. Masa iya baru kali ini menimbulkan kemacetan siang bolong. Tidak mungkin! Lagi-lagi lantas apa?
Aku lajukan kecepatan motor di atas rata-rata. Hampir 90 kilometer. Harap-harap cemas, segera sampai di kantor. Belum lagi sampai perempatan lebak bulus, kemacetan kembali merongrong. Naas.
Jika ini pagi hari, wajar rasanya macet melanda. Tapi ini hampir pukul. Aku lihat kembali jam tangan Casio. Ternyata pukul tiga lewat sepuluh menit. Aneh jika macet jam segini.
Beruntung, tak lama aku sampai lampu merah yang kebetulan posisinya sedang hijau. Ku tancap gas dengan bunyikan klakson panjang, suaranya lebih mengganggu dibanding suara terompet roti keliling. Dan berhasil. Aku tidak terjebak lampu merah.
Perjalanan ku sambung dengan melewati komplek perumahan Pondok Indah (PI). Komplek yang konon hanya ditinggali oleh orang-orang kaya dan para ekspatriat muda. Terlihat jelas, jurang perbedaan antara si kaya dan si miskin di sini.
Kupapasi tukang gorengan pikul. Tubuh dan pikulannya terlunta-lunta di hadapan megahnya bangunan komplek PI. Semoga ada yang membeli dagangannya. Aku menerawang. Sesampainya tukang gorengan di rumah dia akan memamerkan jerih payahnya kepada sang anak, dengan berkata: ”Lihat ayah dapat lima puluh ribu.”
Sang anak akan menyambut: ”Horee”
Terawanganku yang kedua adalah, jika si tukang gorengan tak membawa uang banyak. Lalu dengan hati-hati si tukang gorengan menaruh pikulannya lemas, berharap anak dan istrinya sudah tertidur pulas di dalam bilik kontrakan 3x4, sehingga ia tak perlu menjelaskan betapa sulitnya mencari selembar 50 ribu jaman sekarang.
Aku sampai di ujung pintu keluar komplek PI. Bangunan tak kalah megah menyambut dengan sombong. Tak kalah sombong dengan apa yang kulalui barusan. Namanya juga hampir mirip, hanya di tambah kata ’Mall’ dibelakangnya. Menjadi Pondok Indah Mall (PIM). Bangunan itu masih saja terlihat angkuh. Tak hanya satu. Bangunan itu ada dua. PIM I dan PIM II. Aku sering masuk ke dalamnya. Lantas, apakah aku juga bisa dikatakan angkuh karena telah berupaya masuk kedalamnya beberapa kali? Entahlah.
Aku pun dipaksa belok kiri lantaran arah kantorku memang harus belok kiri. Dan terlihatlah di seberang sana, Masjid Raya Pondok Indah. Kelihatannya ramai nian di sana. Seperti ada pasar malam. Bedanya ini sore. Ya, sore! Bukan siang lagi! Berarti namanya pasar Sore!
Ngomong-ngomong kau tahu pasar malam? Pasar yang di dalamnya terdapat berbagai permainan liar. Mereka berkeliling dari satu daerah ke daerah lain menjajakan permainan demi, lagi-lagi receh! Cuih! Aku benci mendengar kata-kata receh. Seakan uang itu tak ada harganya! Padahal dulu dua puluh lima perak masih ada artinya. Dulu.
Pikiranku mengambang jauh. Sangat jauh. Berpikir sejak kapan ada pasar macam itu di Masjid Raya Pondok Indah. Pikiranku berkecamuk. Perang batin kedua kembali tersulut, menyaingi Perang Dunia jilid dua yang mencakup Eropa tengah dan timur yang menewaskan lebih dari 50 juta manusia. Sinting!
Kau tahu apa? Pikiranku semakin menggila saat menyadari hari itu adalah hari Jum’at! Dan aku lupa sholat Jum’at! Tobat!
Ku rentet semua kejadian tadi, di mulai sejak kemacetan. Ternyata semuanya akibat itu hari Jum’at. Semua pria –entah itu berangkat ke kantor atau baru mau keluar makan siang—baru pergi lewat pukul satu, lantaran sholat Jum’at dulu. Masjid Raya PI yang layaknya pasar malam juga lantaran hari Jum’at. Para pedagang biasa menjajakan barang dagangan di sekitar masjid, dengan harapan orang-orang –sehabis sholat Jum’at akan membelinya— dan yang kusaksikan tadi, mungkin hanyalah sisa-sisa pedagang yang akan pulang, mengingat ini sudah terlampau sore, pukul setengah empat! Tak mungkin masih ada orang sholat Jum’at sore-sore begini.
Dan aku yang tak menyadari semua ini, telah melanglangbuanakan pikiranku ke macam-macam tempat. Di balik helm busuk ini. Termakan dalam dunia imajinerku sendiri. RJ
Rabu, 28 Oktober 2009
Here I go..
Theme song: Enjoy the punk rock show tonight, your favorite punk rock song.. lalalala.. -Nicotine: Enjoy punk rock-
So finally you found the way to get here!
Welcome to my blog!
Holla, my name is Rangga Pandu Asmara Jingga..
Gue bekerja as a reporter di salah satu perusahaan media swasta.
Awalnya sih mau bikin blog yang isinya catatan perjalanan gue selama jadi wartawan. Tapi kelihatannya sulit, mengingat sebuah catatan butuh sebuah perjalanan yang panjang dan tidak sedikit kawan! Lah gue kan masih jarang liputan, maklum wartawan baru. Saya masih ingusan! hehe.
Setelah ngerumpi bareng tetangga sebelah dan ngudek-ngudek berbagai cerita di halaman om google, saya tak kunjung dapat ide. Huh apalah arti ide. Jadi saya putuskan, untuk menulis apa saja yang mau saya tulis. Iya, apa saja... Semoga bermanfaat.
Oke sekian dulu perkenalannya. Enjoy and happy reading buddy!! ^^
So finally you found the way to get here!
Welcome to my blog!
Holla, my name is Rangga Pandu Asmara Jingga..
Gue bekerja as a reporter di salah satu perusahaan media swasta.
Awalnya sih mau bikin blog yang isinya catatan perjalanan gue selama jadi wartawan. Tapi kelihatannya sulit, mengingat sebuah catatan butuh sebuah perjalanan yang panjang dan tidak sedikit kawan! Lah gue kan masih jarang liputan, maklum wartawan baru. Saya masih ingusan! hehe.
Setelah ngerumpi bareng tetangga sebelah dan ngudek-ngudek berbagai cerita di halaman om google, saya tak kunjung dapat ide. Huh apalah arti ide. Jadi saya putuskan, untuk menulis apa saja yang mau saya tulis. Iya, apa saja... Semoga bermanfaat.
Oke sekian dulu perkenalannya. Enjoy and happy reading buddy!! ^^
Langganan:
Postingan (Atom)