Rabu, 17 Maret 2010

Pasar Malam


BANYAK angin. Ramai orang. Dua kalimat itu langsung terngiang waktu mendengar kata pasar malam. Ada bianglala, ada komidi putar, ada rumah setan, ada gula-gula kapas! Di pasar malam, segala ada..

Usai timbang-timbang, pasar malam itu sebenarnya sebelasduabelas sama sirkus keliling yang ada di Amerika sana. Sama-sama di gelar musiman, sama-sama keliling dari satu daerah ke daerah lain.

Toh saya lebih suka sebut sirkus liar ketimbang pasar malam atau sirkus keliling (selanjutnya saya akan sebut sirkus liar). Nah, kenapa liar? Aspek apa yang membuat sirkus itu menjadi liar?

Saya sendiri lupa sudah berapa kali masuk ke arena sirkus liar. Tapi yang paling baru adalah sirkus liar sawangan, arah parung. Kali itu saya datang bareng cewek saya (dulu cewek saya). Sekedar iseng...

Asing! Dan. Dan Menakutkan! Dua hal itu saya rasakan pertama kali hadir di tengah hiruk pikuk sirkus liar.

Saya masuk pintu gerbang buatan (hanya terbuat dari triplek bekas). Kiri kanan sampah. Lagi-lagi sampah. Eh ada ludah juga! Ludah abang-abang tukang gulali!. Suara jual mp3, haduuh kerasnya bukan main! Dangdut pula! Liar sekali!

"Beha, beha, beha.." penjual beha memvulgarkan malam itu dengan jualannya. Saya diam saja. Lah wong saya enggak doyan beha! Eh pacar saya malah lihat-lihat beha. Sial.

Selagi beha di lihat. Saya akhirnya muter-muter sebentar sendirian. Ada kaos Baim. Bukan, bukan Baim wong!!! tapi Baim anak ajaib yang di sinetron. Warna kaosnya putih, gambarnya muka Baim segede bagong. "Kaos Baim, Kaos Baim.." dua anak langsung nangis minta dibelikan. Liar!

Lantas ada Bianglala. Yang memutar bukan mesin, tapi seperti biasa, ya manusia! Tidak seorang, melainkan dua manusia! Seratus jagung keringat sebagai ganti dua ribu perak sekali naik. Liar!

Gula-gula kapas yang bergerombol-gerombol, digantung kemudian tertiup angin. Geraknya bagai memanggil tiap jengkal anak-anak manis di sekitarnya utnuk segera merengek kembali kepada orang tuanya. "Mari, mari.. rasaku manis dan gigimu akan bolong.." ujar gula-gula kapas itu seakan. Liar!

Yang paling menyita perhatian saya adalah permainan lempar gelang. Permainan yang saya kira sudah pensiun sejak tahun 90-an itu tak taunya masih 'nongol' di sana. Hoalaah..

Permainannya sesederhana namanya. Beberapa objek berupa Mie Instant, gula, kaos, sampai duit, di jembreng di pelataran dari kayu. Pemainnya harus menukar lima ribu rupiah untuk sekitar tiga buah gelang, yang nantinya akan di lempar kepada objek-objek tersebut. Kalau yang dilempar tepat sasaran, maka sasarannya boleh di bawa serta pulang ke rumah. Begitu seterusnya hingga kawasan itu cepat di kerubungi manusia. Liar!!

Lalu saya melihat ludah lagi. Ludahnya tukang mp3! Tukang mp3 tentu paling asik. Tak perlu teriak-teriak. Cukup putar sound keras-keras, pengunjung datang menghampiri.
Eh lagi-lagi cewek saya malah lihat mp3! Dan saya hanya lihat ludah.

Begitulah sekilas pandangan tentang sirkus liar. Tak ada peraturan khhusus di sana. Layaknya membuang sampah sembarangan dan meludah seenak jidatnya. Saya jadi ingat perkataan penulis legendaris Pramoedya Ananta Toer dalam romannya yang berjudul Bukan Pasar Malam.

Menurut Pram hidup di dunia ini tidak seperti pasar malam, "Dan di dunia ini manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang...seperti dunia dalam pasar malam. Seorang-seorang mereka datang dan pergi. Dan, yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah kemana..." -Pramoedya Ananta Toer-.

Yang jelas pasar malam, sirkus keliling atau sirkus liar, apapun namanya. Tempat itu bisa menjadi kacadiri bagi kita. Saya melihat Di mana berperas-peras keringat harus dikeluarkan demi mencari sebuah pengharapan. Penghidupan. Penghidupan yang nyatanya fana di dunia ini.

So long sirkus liar.. kapan-kapan saya datang lagi yaa.. :) RJ