Selasa, 08 Februari 2011

Pelangi Di Langit Borneo

Kali ini saya mau berbagi cerita ‘jalan-jalan’ saya ke Kalimantan, tepatnya di Kota Pontianak dan Palangka Raya. Nggak ada yang spesial dari cerita saya. Cuma cerita seputar pandangan mata saya belaka. Sebelumnya maaf kalau saya salah, saya belum terlalu mengeksplore ragam kota di Kalimantan.

Kota Pontianak menurut saya keadaannya mirip seperti Jalan Gajah Mada di Jakarta. Banyak penduduk keturunan Tionghoa. Bangunan disana banyak yang tua. Ada beberapa klenteng-klenteng warna merah, berdiri di antara deretan toko-toko.

Karena saat itu saya datang di akhir Januari, banyak lampion-lampion yang dipasang penduduk di toko. Maklum, ”buat menyambut perayaan Gong Xi Fa Cai,” kata orang setempat. Makin mirip china town deh!!!

Kebanyakan, jualan di Pontianak didominasi dengan jualannya khas orang Tionghoa. Ada mie tiau (kwetiau), jam tangan, emas, counter handphone, sampai warung kopi tubruk. Yang lucu, walau jualannya ditulis besar-besar ”American Food” dengan logo mirip bendera Amerika (merah putih biru dan bintang-bintang), tapi tetap aja di dalamnya ramai lampion dan tulisan Gong Xi Fa Cai, hehe.

Ada pepatah lama yang bilang: ’kalau ke Pontianak, jangan lupa makan durian’. Kalau menurut saya makan durian aja nggak cukup. Sekali-kali perlu dicoba minum kopi tubruk khas Pontianak, di pinggir jalan.

Kebanyakan warung kopi di Pontianak mirip toko kelontong. Cuma warung kecil. Tapi hebatnya kursi yang disediakan bisa sampai puluhan, tersebar sampai ke depan toko-toko sebelahnya yang memang kalau malam tutup. Maklum, anak-anak muda di Pontianak hobi nongkrong minum kopi di pinggir jalan sambil main kartu.

Malahan waktu saya pertama kali ke Pontianak, pas jamannya Piala Dunia, di setiap warung kopi kelontong sampai disediain layar big screen buat nonton bola bareng.

Di warung kopi kalau malam, apalagi malam minggu, ramainya bukan main. Puluhan motor parkir berderet. Muda-mudi, cewek atau cowok, semua naik motor. Dan hebatnya, cewek-cewek di Pontianak suka pakai motor cowok. Sering saya pergoki cewek naik motor Satria FU. Atau yang lebih ekstrim lagi, cewek mungil naik Vixion.

Parit Besar dan Alun-Alun
“Gong Xi Gong Xi Gong Xi” kata-kata itu dilantunkan berulangkali oleh salah satu pelanggan di tempat saya minum kopi. Berulang-ulang dia nyanyinya cuma itu. Saya jadi ingat sampai sekarang. Habis nadanya lucu.

Tempat saya minum kopi letaknya persis didepan Parit Besar Pontianak. Parit besar itu, semacam got panjang yang dialiri air dari Sungai Kapuas. Walau namanya Parit Besar tapi lebarnya tidak sampai dua meter loh.

Dulunya Parit Besar dilalui sampan-sampan kayu. Penduduk jualan sayur-mayur dan kebutuhan pokok, mirip pasar terapung di Banjarmasin. Tapi sekarang udah nggak ada lagi. Kata orang setempat, ”sekarang kan udah modern.”

Sepanjang Parit Besar ada jembatan-jembatan kecil fasilitas menyeberang. Mungkin jaman dulu, waktu masih ada sampan, di Parit Besar mirip di Venezia. Sampannya jalan dibawah jembatan. Heuheu.

Lain Parit Besar, lain lagi alun-alun. Alun-alun lokasinya tepat dipinggir Sungai Kapuas. Ada air mancur yang bisa jadi obyek foto. Banyak anak muda pacaran, tukang jualan dan nggak ketinggalan pengamen. Kadang, pengamen jadi indikator sebuah kota di bilang kota besar loh..hehe

Kalau lagi beruntung, kadang ada masyarakat setempat yang mancing di alun-alun. Saya lihat sendiri, disana ada udang besar yang berhasil ditangkap pemancing. Sesekali kapal tongkang lewat entah membawa apa. Yang jelas potensi ekonomi di Sungai Kapuas memang menjanjikan.

Bicara soal sungai, berarti bicara soal air. Dan air di Kalimantan ternyata berkaitan dengan cerita legenda setempat. Konon pendatang yang minum air di Kalimantan, entah itu air teh, kopi apapun, pasti akan selalu rindu Kalimantan. Kata sumber saya di sana, segala bentuk air di Kalimantan otomatis berasal dari sungai Kapuas.


Waktu saya ke Palangka Raya juga sama. Ada yang bilang kayak gitu. Saya sih tidak begitu percaya hal-hal kaya begitu. Tapi anehnya, saya memang selalu rindu Kalimantan, saya rindu memergoki pelangi di langit Kalimantan, dan sampai sekarang sudah tiga kali ke sana. Apa betul mitosnya?