Senin, 14 November 2011

Pemuda Rantau


Jakarta, pantauan udara!


Sabtu pagi yang cerah di Jakarta. Cahaya matahari berpantulan di gedung-gedung pencakar langit yang ditinggal liburan pekerjanya. Burung-burung hinggap di patung-patung pahlawan berusia puluhan tahun, bersantai, berkerumun, dan buang hajat.

Sementara itu, konsentrasi massa terlihat di seputaran terminal. Beberapa diantaranya menuju tempat wisata murah meriah. Sebagian lainnya, pilih pulang kampung, entah ke Tangerang, Bekasi, Depok, atau Sukabumi.

Pemandangan lain, di wilayah Cirendeu, pinggiran Jakarta. Bambang masih lelap tidur disempilan gang kecil, kos-kosan yang disewanya. Kakinya dikerubungi lalat. Lalat sampah, hijau mengkilap.

Dasar Bambang malas! Padahal diujung gang sempit kosan Bambang, tukang gorengan sudah beraktifitas. Bunyi penggorengannya krieng krieng. Aroma plastik goreng pekat tersamar wangi tepung. Rejeki Bambang pun terancam dipatok ayam.

Harusnya, sekarang Bambang sudah di terminal, mengantri tiket bis super murah tujuan Sukabumi. Bambang mau pulang ke rumah emak. Maklum pemuda rantau.

“Dik Bambang..permisi,” kata Ibu Yani, pemilik kosan mengetuk pintu kamar Bambang. “Dik Bambang..”

Merasa terusik. Bambang akhirnya bangun. “Oh ibu, ada apa ya,” tanya Bambang usai buka pintu.

“Maaf dik Bambang, cuma mau ngingetin, uang kosan bulan kemarin sama bulan ini apa sudah bisa dibayar?” tanya Ibu Yani.

“Yaampun, iya bu, saya lupa..kemarin saya udah mau ke ATM ambil uang, tapi nggak bisa. Uangnya di ATM habis,” kata Bambang sembari memelas. Alasan klasik.

Ibu Yani cemberut. Ini kedua kalinya dia tagih Bambang. Hasilnya nihil lagi. “Gini dik Bambang..kemarin ada mahasiswa, dia mau kos di sini. Katanya rumahnya di Bandung. Gimana ya, apa ibu kasih aja kamar dik Bambang ke dia?”

“Oh jangan bu..jangan... sebentar saya ambil uang dulu di dompet,” kata Bambang yang tak bisa berkelit. Uang kos Rp 500 ribu, dua bulan, pindah tangan.

“Dasar asem,” batin Bambang. Sudah bangun kesiangan, uang ongkos ke Sukabumi diambil Ibu kos.

Bambang akhirnya mandi. Tidak lupa sarapan gorengan plastik. Lalu bablas ke terminal, ambil uang lalu lanjut ke Sukabumi.

Modal Bambang pulang kampung tidak banyak. Sendal jepit, kaos oblong tanah abang, hape blekberi, dan uang Rp 500 ribu. Cukup lah buat bergaya di kampung plus tipu-tipu gadis Sukabumi. Dasar buaya.

Bambang pun sampai di Terminal Kampung Rambutan. Suasana ramai, khas terminal. Bau pesing, bau oli, bau asap knalpot, campur aduk! Dan waktu sudah menunjukkan pukul satu siang. Buru-buru Bambang ambil uang.

Baru mau masuk ATM, Bambang ditegur orang. Badannya besar, mirip Hercules. “Hey kawan, lepas lah dulu topeng kau itu kalau mau masuk ATM,” ujar si badan Hercules.

Bambang bengong, seraya menjawab, “Maaf bang, ini muka asli bukan topeng.”

“Oh, yasudah, cepat lah kau ambil uang,” kata si badan Hercules sambil lalu.

Usai ambil uang, Bambang beli tiket. Lalu ada pedagang obat kuat, “Bos obat kuat bos, dijamin tokcer, tahan sampai pagi!”

Bambang bengong lagi. “Enggak mas. Makasih,” tolak Bambang polos. Tiket pun dibeli.

Lalu, “SUKABUMI..SUKABUMIII,” kenek bis teriak-teriak. Bambang lari-lari kecil. Masuk bis.

Bambang duduk di tengah, samping jendela. Biar bisa lihat pemandangan sepanjang jalan, plus beli camilan tahu sumedang kegemaran dia.

Beruntung. Cewek cantik naik bis, duduk sebelah Bambang. Cuma lima detik, ceweknya pindah kursi. Keberuntungan Bambang cuma lima detik!

Kenapa si cewek pindah tempat duduk? Hanya dia dan tuhan yang tahu. Perkiraannya, pertama, karena Bambang jelek. Kedua, karena rupa Bambang lebih mirip tukang hipnotis ketimbang orang yang mau pulang kampung. Ketiga, Bambang bermuka mesum.

Sekarang, yang tersisa di sebelah Bambang cuma aroma parfum si cewek, menggelorakan aroma apek bis antar provinsi. Waktu pun tepat pukul dua siang, bis beranjak pergi. Langsung via tol, menuju Sukabumi. Laporan cuaca Jakarta dikabarkan berawan. Semoga Bambang tidak mencopet. Demikian pantauan udara, siang hari ini.

Selasa, 11 Oktober 2011




Order my novel: www.nulisbuku.com/books/view/bintang-layang-layang

Karena sebuah karya tulis, sejelek apapun isinya, tetap untuk di baca. Terima kasih kawan. :)

Kamis, 25 Agustus 2011

Saya masih hidup

Hidup yang penuh liku
Dihadiri sekelumit amarah
Bibir yang selalu membisu
Gadis yang ada di cerita saya

Semuanya nyata
Tuhan
Saya ingin kedamaian
Seperti siang gerimis, yang diteteskan genting

Kata-kata yang terlontar
Menyeruakkan tangis
Tuhan
Saya ingin kedamaian
Seperti angin, yang dihempaskan padang

Denyut nadi
Nafas
Tuhan
Saya masih hidup :)

Sabtu, 25 Juni 2011

Sabtu, 16 April 2011

Sayang Heulang Beach, Garut





Pantai Sayang Heulang di Garut kawan. Cukup diambil pakai kamera hp, tepatnya kamera 3.2 megapiksel. Buat saya, hasilnya lumayan.
Saya cuma mau hancurkan mainstream dunia taman kanak-kanak yang rengek-rengek beli kamera digital mahal untuk foto-foto. Snap!

Selasa, 08 Februari 2011

Pelangi Di Langit Borneo

Kali ini saya mau berbagi cerita ‘jalan-jalan’ saya ke Kalimantan, tepatnya di Kota Pontianak dan Palangka Raya. Nggak ada yang spesial dari cerita saya. Cuma cerita seputar pandangan mata saya belaka. Sebelumnya maaf kalau saya salah, saya belum terlalu mengeksplore ragam kota di Kalimantan.

Kota Pontianak menurut saya keadaannya mirip seperti Jalan Gajah Mada di Jakarta. Banyak penduduk keturunan Tionghoa. Bangunan disana banyak yang tua. Ada beberapa klenteng-klenteng warna merah, berdiri di antara deretan toko-toko.

Karena saat itu saya datang di akhir Januari, banyak lampion-lampion yang dipasang penduduk di toko. Maklum, ”buat menyambut perayaan Gong Xi Fa Cai,” kata orang setempat. Makin mirip china town deh!!!

Kebanyakan, jualan di Pontianak didominasi dengan jualannya khas orang Tionghoa. Ada mie tiau (kwetiau), jam tangan, emas, counter handphone, sampai warung kopi tubruk. Yang lucu, walau jualannya ditulis besar-besar ”American Food” dengan logo mirip bendera Amerika (merah putih biru dan bintang-bintang), tapi tetap aja di dalamnya ramai lampion dan tulisan Gong Xi Fa Cai, hehe.

Ada pepatah lama yang bilang: ’kalau ke Pontianak, jangan lupa makan durian’. Kalau menurut saya makan durian aja nggak cukup. Sekali-kali perlu dicoba minum kopi tubruk khas Pontianak, di pinggir jalan.

Kebanyakan warung kopi di Pontianak mirip toko kelontong. Cuma warung kecil. Tapi hebatnya kursi yang disediakan bisa sampai puluhan, tersebar sampai ke depan toko-toko sebelahnya yang memang kalau malam tutup. Maklum, anak-anak muda di Pontianak hobi nongkrong minum kopi di pinggir jalan sambil main kartu.

Malahan waktu saya pertama kali ke Pontianak, pas jamannya Piala Dunia, di setiap warung kopi kelontong sampai disediain layar big screen buat nonton bola bareng.

Di warung kopi kalau malam, apalagi malam minggu, ramainya bukan main. Puluhan motor parkir berderet. Muda-mudi, cewek atau cowok, semua naik motor. Dan hebatnya, cewek-cewek di Pontianak suka pakai motor cowok. Sering saya pergoki cewek naik motor Satria FU. Atau yang lebih ekstrim lagi, cewek mungil naik Vixion.

Parit Besar dan Alun-Alun
“Gong Xi Gong Xi Gong Xi” kata-kata itu dilantunkan berulangkali oleh salah satu pelanggan di tempat saya minum kopi. Berulang-ulang dia nyanyinya cuma itu. Saya jadi ingat sampai sekarang. Habis nadanya lucu.

Tempat saya minum kopi letaknya persis didepan Parit Besar Pontianak. Parit besar itu, semacam got panjang yang dialiri air dari Sungai Kapuas. Walau namanya Parit Besar tapi lebarnya tidak sampai dua meter loh.

Dulunya Parit Besar dilalui sampan-sampan kayu. Penduduk jualan sayur-mayur dan kebutuhan pokok, mirip pasar terapung di Banjarmasin. Tapi sekarang udah nggak ada lagi. Kata orang setempat, ”sekarang kan udah modern.”

Sepanjang Parit Besar ada jembatan-jembatan kecil fasilitas menyeberang. Mungkin jaman dulu, waktu masih ada sampan, di Parit Besar mirip di Venezia. Sampannya jalan dibawah jembatan. Heuheu.

Lain Parit Besar, lain lagi alun-alun. Alun-alun lokasinya tepat dipinggir Sungai Kapuas. Ada air mancur yang bisa jadi obyek foto. Banyak anak muda pacaran, tukang jualan dan nggak ketinggalan pengamen. Kadang, pengamen jadi indikator sebuah kota di bilang kota besar loh..hehe

Kalau lagi beruntung, kadang ada masyarakat setempat yang mancing di alun-alun. Saya lihat sendiri, disana ada udang besar yang berhasil ditangkap pemancing. Sesekali kapal tongkang lewat entah membawa apa. Yang jelas potensi ekonomi di Sungai Kapuas memang menjanjikan.

Bicara soal sungai, berarti bicara soal air. Dan air di Kalimantan ternyata berkaitan dengan cerita legenda setempat. Konon pendatang yang minum air di Kalimantan, entah itu air teh, kopi apapun, pasti akan selalu rindu Kalimantan. Kata sumber saya di sana, segala bentuk air di Kalimantan otomatis berasal dari sungai Kapuas.


Waktu saya ke Palangka Raya juga sama. Ada yang bilang kayak gitu. Saya sih tidak begitu percaya hal-hal kaya begitu. Tapi anehnya, saya memang selalu rindu Kalimantan, saya rindu memergoki pelangi di langit Kalimantan, dan sampai sekarang sudah tiga kali ke sana. Apa betul mitosnya?