Selasa, 17 November 2009

Aku di hari Jum'at

SEMUANYA berjalan seperti biasa. Kendaraan-kendaraan tengik melambat dengan bodohnya, beriringan layaknya semut. Bedanya mereka berbicara, melalui klakson-klakson pancaragam bunyi. Mulai dari bunyi klakson standard, bunyi klaskson bus, hingga bunyi terompet roti keliling. Dan aku. Aku terjebak di dalam helm busuk berbau menyerupai bau di tempat pembuangan akhir. Yang sangat akhir. Paling akhir. Saking baunya. Bodoh. (Aku berjanji mengganti helm ini sejak setahun lalu, hingga kini helm itu warnanya sudah pudar, lapisan busa-nya mencoklatkan diri akibat debu).

Ternyata bukan aku seorang. Bahkan bisa kukatakan 80 persen pengendara motor di sekitarku menggunakan helm sampah. Rupanya tak keru-keruan. Dari melihatnya saja aku bisa tahu beberapa helm dari mereka itu lebih dashyat baunya. Cuih!

Aku melayangkan pandangan ke arah samping, ke deretan tiang-tiang pagar sebuah pertokoan, sementara kemacetan ini sendiri seakan tak berujung. Tepat di depan pandanganku kini adalah spanduk dari institusi POLRI. Isinya bertuliskan apa yang baru saja kubicarakan. Tentang helm! Polri menghimbau penggunaan helm dengan baik dan benar. Di pakai, lalu di pasang talinya hingga terdengar bunyi ’klik’. Dan yang paling menimbulkan argumentasi adalah helm anjuran harus berkode SNI! Ya, SNI atau Standard Nasional Indonesia. Lucunya kata Standard yang harusnya memakai ”D” di tuliskan dengan ”T”, menjadi Standart Nasional Indonesia. Tapi lupakanlah penulisan itu, toh aku pun belum sempat mencari tahu apakah jika di tulis dengan huruf ”T”, sah-sah saja atau tidak.

Yang jelas jika memang harus ber-SNI apa jadinya helm-helm impor keluaran luar negeri, yang notabene-nya sangat terjamin keamanannya namun tidak berlogo SNI? Perutku tergelitik riang. Gejolak tawa yang tertahan membuatku seraya mau muntah pada saat yang sama. Muak. Muak dengan pembuat peraturan yang nyatanya dirinya saja enggan mematuhi peraturan tersebut. Sering kali aku melihat. Sebelumnya maaf. Tapi tak jarang aku melihat seorang oknum aparatur negara itu tak menggunakan helm sama sekali ketika berpatroli. Mengingat hal itu, tawaku tak tertahan lagi. Aku tertawa. Terkekeh. Motor disebelahku sempat menengok ke arahku dan buang muka. Di kiranya aku orang gila! Orang gila tapi mengendarai motor!? Lalu siapa yang gila sekarang?!

Akhirnya aku sudah mencapai 50 meter jauhnya, terhitung sejak melihat spanduk tadi. Sementara isi dan tetek bengek pesan spanduk terlupakan, kemacetan belum juga menemukan pangkalnya! Klakson-klakson kembali diperdengarkan. Yang bunyinya menyerupai terompet roti kelilinglah yang paling ramai dan berisik. Gaduh sekali siang itu. Teriknya matahari membuat nuansa siang itu seperti di neraka! Sedikit saja senggolan antara pengemudi motor, pasti pertikaian akan terjadi! Konon pertikaian tak akan menghampiri pengemudi mobil karena mereka tidak kepanasan. Kecuali Bus dan Angkot!

Hampir saja aku menginjak sepotong kaki beralas sendal butut. Orangnya besar, sebesar Gorilla tapi tanpa bulu mengelilingi tubuhnya. Kakinya selintas hitam terbakar matahari. Kukunya panjang dan tak kalah hitamnya dengan warna kulit. Tai kuku! Untung tak terinjak! Klo kakinya terinjak, aku bisa ditendangnya saat itu juga! Dan ditendang, berarti tai kukunya bisa saja loncat kearahku!

”KOSONG KOSONG, KIRI KOSONG!” cepat saja suara lantang itu membuyarkan lamunanku dari tai kuku. Ternyata itu suara kenek bus yang mencoba membantu sang sopir memotong jalan kiri. Klakson kembali menggelegar. Kali ini dari mobil pribadi yang tak rela jalannya di potong bus.

Aku kembali menatap jalur depan. Sepintas dikejauhan terlihat seonggok kontainer. Sedari tadi aku perhatikan tak bergerak sedikit pun. Spekulasiku mengatakan kontainer itu sedang mogok. Menjadi penyebab segala kekacauan ini! Sialan!

Ku geser sedikit jaket di lengan, hingga jam merk Casio menyembul keluar dari dalamnya. Pukul dua siang lewat tiga puluh menit! Aku harus segera sampai ke kantor, pikirku! Jam tiga paling lambat! Tidak tidak, sebenarnya jam empat pun tak apa. Sabar!

Pandangan kutujukan ke langit. Masih panas. Terik. Puluhan derajat celcius. Entahlah. Yang pasti tak ada awan hitam di sana. Aku semakin mendekati kontainer sialan itu! Ingin sekali memastikan apakah benar dia penyebab semuanya. Aku memaki dalam hati! Panas! Emosi jiwa!

Dan sampailah aku di sebelahnya. Benar-benar di sebelah container itu. Bannya hampir setinggi motorku. Asap knalpotnya mengepul dari samping bawah. Dan mesinnya menyala keras! Dia pun berjalan perlahan! Ternyata bukan kontainer penyebabnya! Demi tai kuku dan helm yang berbau sampah ini, maafkan saya yang curiga kepada kontainer! Lantas apa? Apa penyebab semua kemacetan ini?!

Pandangan kemudian kualihkan ke arah bodi kontainer. Tulisan KhongGuam tertera jelas di bodinya yang mulai berkarat. Entah apa arti di balik tulisan tersebut. Mungkin itu sebuah merk produk tertentu. Atau nama perusahaan di mana kontainer itu bekerja. Bekerja siang dan malam dengan hanya di beri upah isi bensin dan ganti oli tiap bulan! Syukur-syukur jika di ajak tune-up sekali sebulan. Jika kontainer itu manusia, mungkin sudah teriak sekarang!

Aku terlalu lama melamunkan arti KhongGuam. Hingga tak sadar asap kontainer mengepul deras, membabi buta ke mukaku! Lumayan make-up gratis kelakarku. Sialan tujuh turunan itu kontainer! Lagi-lagi jika kontainer itu manusia mungkin sekarang sudah terkikik puas melihat mukaku penuh asap knalpotnya! Berengsek!

Lagi-lagi pikiranku kembali ke kata KhongGuam. Aku eja betul tiap hurufnya dalam hati. Sekilas seperti nama produk biskuit. Biskuit sejuta umat, yang hampir terbeli oleh semua lapisan masyarakat. Mulai dari kelas rendahan hingga kelas birokrat. Hah tapi apa iya. Peduli amat!
Sampailah aku di lampu merah. Perempatan pasar Jumat. Aku menoleh. Kemacetan masih panjang dibelakang. Si motor dengan klakson terompet tukang roti keliling kini di sebelah kiri ku. Semoga dia tidak membunyikan klakson! Dan sebelah kanan! Sebelah kanan ada si Gorilla tai kuku! Matanya menatap tajam di balik helm hijau kumal bertempelkan sticker Malrboro. Lantas ia tersenyum. Tersenyum ke arahku yang awalnya memandang jijik tai kukunya. Slogan bodoh yang berbunyi ’jangan menilai buku dari sampulnya’ ternyata berlaku di sini. Badan mirip Gorilla, ber-tai kuku yang sempat ku sumpahserapahi dalam hati itu, sejatinya baik dan murah senyum!

Aku balas senyum itu dengan kecut. Dia tak peduli, lalu kembali menatap ke depan. Aku pun buang muka. Menatap lampu merah yang tak kunjung hijau.

Datanglah seonggok bocah kearahku meminta uang –kukatakan seonggok bocah, karena kehadirannya acap kali hanya di anggap patung di pinggir jalan—mengais-ngais receh. Kalau tak diberi uang, mulutnya akan komat-kamit menggerutu. Aku pun tak memberi uang. Mulutnya berkecumik entah apa yang dikatakannya. Tapi dari gerak bibirnya aku bisa membaca, ’dasar pelit’! Sial!

Tak apalah pikirku. Toh dia hanya anak kecil yang salah aturan. Salah didikan orang tua. Orang tuanya demikian juga karena ’terbuang negara’. Hidup di negara yang secara tidak langsung telah membuangnya di jalanan tanpa membekali setetes pengetahuan pun.

’TET TOWET TOWET’ suara yang tak asing lagi. Sial betul aku hari itu, tiga kali mendengar klakson bising dari motor terompet roti keliling. Rupanya lampu sudah hijau. Klakson-klakson bersahut-sahutan mengusir kendaraan di depannya agar segera tanjap gas. Cepat. Sebelum lampunya kembali merah.

Jalanan mulai melancar, aku tak habis pikir apa gerangan yang membuat kemacetan tadi. Apa lampu merah? Ah klise! Lampu merah sudah berdiri di situ bahkan sejak 10 tahun lalu, sejak jamannya aku masih menggunakan seragam putih biru pergi ke sekolah. Masa iya baru kali ini menimbulkan kemacetan siang bolong. Tidak mungkin! Lagi-lagi lantas apa?

Aku lajukan kecepatan motor di atas rata-rata. Hampir 90 kilometer. Harap-harap cemas, segera sampai di kantor. Belum lagi sampai perempatan lebak bulus, kemacetan kembali merongrong. Naas.

Jika ini pagi hari, wajar rasanya macet melanda. Tapi ini hampir pukul. Aku lihat kembali jam tangan Casio. Ternyata pukul tiga lewat sepuluh menit. Aneh jika macet jam segini.

Beruntung, tak lama aku sampai lampu merah yang kebetulan posisinya sedang hijau. Ku tancap gas dengan bunyikan klakson panjang, suaranya lebih mengganggu dibanding suara terompet roti keliling. Dan berhasil. Aku tidak terjebak lampu merah.

Perjalanan ku sambung dengan melewati komplek perumahan Pondok Indah (PI). Komplek yang konon hanya ditinggali oleh orang-orang kaya dan para ekspatriat muda. Terlihat jelas, jurang perbedaan antara si kaya dan si miskin di sini.

Kupapasi tukang gorengan pikul. Tubuh dan pikulannya terlunta-lunta di hadapan megahnya bangunan komplek PI. Semoga ada yang membeli dagangannya. Aku menerawang. Sesampainya tukang gorengan di rumah dia akan memamerkan jerih payahnya kepada sang anak, dengan berkata: ”Lihat ayah dapat lima puluh ribu.”

Sang anak akan menyambut: ”Horee”

Terawanganku yang kedua adalah, jika si tukang gorengan tak membawa uang banyak. Lalu dengan hati-hati si tukang gorengan menaruh pikulannya lemas, berharap anak dan istrinya sudah tertidur pulas di dalam bilik kontrakan 3x4, sehingga ia tak perlu menjelaskan betapa sulitnya mencari selembar 50 ribu jaman sekarang.

Aku sampai di ujung pintu keluar komplek PI. Bangunan tak kalah megah menyambut dengan sombong. Tak kalah sombong dengan apa yang kulalui barusan. Namanya juga hampir mirip, hanya di tambah kata ’Mall’ dibelakangnya. Menjadi Pondok Indah Mall (PIM). Bangunan itu masih saja terlihat angkuh. Tak hanya satu. Bangunan itu ada dua. PIM I dan PIM II. Aku sering masuk ke dalamnya. Lantas, apakah aku juga bisa dikatakan angkuh karena telah berupaya masuk kedalamnya beberapa kali? Entahlah.

Aku pun dipaksa belok kiri lantaran arah kantorku memang harus belok kiri. Dan terlihatlah di seberang sana, Masjid Raya Pondok Indah. Kelihatannya ramai nian di sana. Seperti ada pasar malam. Bedanya ini sore. Ya, sore! Bukan siang lagi! Berarti namanya pasar Sore!

Ngomong-ngomong kau tahu pasar malam? Pasar yang di dalamnya terdapat berbagai permainan liar. Mereka berkeliling dari satu daerah ke daerah lain menjajakan permainan demi, lagi-lagi receh! Cuih! Aku benci mendengar kata-kata receh. Seakan uang itu tak ada harganya! Padahal dulu dua puluh lima perak masih ada artinya. Dulu.

Pikiranku mengambang jauh. Sangat jauh. Berpikir sejak kapan ada pasar macam itu di Masjid Raya Pondok Indah. Pikiranku berkecamuk. Perang batin kedua kembali tersulut, menyaingi Perang Dunia jilid dua yang mencakup Eropa tengah dan timur yang menewaskan lebih dari 50 juta manusia. Sinting!

Kau tahu apa? Pikiranku semakin menggila saat menyadari hari itu adalah hari Jum’at! Dan aku lupa sholat Jum’at! Tobat!

Ku rentet semua kejadian tadi, di mulai sejak kemacetan. Ternyata semuanya akibat itu hari Jum’at. Semua pria –entah itu berangkat ke kantor atau baru mau keluar makan siang—baru pergi lewat pukul satu, lantaran sholat Jum’at dulu. Masjid Raya PI yang layaknya pasar malam juga lantaran hari Jum’at. Para pedagang biasa menjajakan barang dagangan di sekitar masjid, dengan harapan orang-orang –sehabis sholat Jum’at akan membelinya— dan yang kusaksikan tadi, mungkin hanyalah sisa-sisa pedagang yang akan pulang, mengingat ini sudah terlampau sore, pukul setengah empat! Tak mungkin masih ada orang sholat Jum’at sore-sore begini.

Dan aku yang tak menyadari semua ini, telah melanglangbuanakan pikiranku ke macam-macam tempat. Di balik helm busuk ini. Termakan dalam dunia imajinerku sendiri. RJ

1 komentar:

  1. keren. bisa2nya cerita kejebak macet lo jadi begini.. ckckck.. yang namanya jurnalis emang lain ya . LOL

    BalasHapus