Senin, 23 November 2009

Tangga darurat

DI KANTOR saya ada tangga darurat. Tangganya landai dan berkelok-kelok. Asik buat duduk-duduk. Merokok. Dan meludah! Sepertinya saya gemar betul menulis ludah di blog ini. Tapi memang begitulah adanya.

Belakangan tembok tangganya baru di cat. Warnanya biru pucat. Bau catnya membuat saya merasa pusing tiap kali berada di sana.

Ya.. tangga darurat. Kedengaran biasa saja. Semua gedung kan juga punya tangga darurat! Tapi tangga kantor saya begitu berbeda. Tangga itu, jadi saksi keluh kesah saya dan teman-teman. Biasanya, menjelang malam—sekitar pukul sembilan—kami baru ke sana. Pembicaraan bawah tanah kerap kali bergaung di sana.

”Wahai enam huruf. Gue cinta banget sama elo.” celoteh teman saya suatu ketika di tangga darurat.

Enam huruf? Kalian pasti bertanya-tanya. Enam huruf, nama cewek pujaan teman saya itu. Ya, cewek itu namanya ada enam huruf. Jangan heran. Kalau dia sudah begitu. Maka salah satu dari teman yang lain akan berkata: ”Tenang, lo pasti dapet dia.”

”Cuih.” Satu yang lain mulai gegap gempita meludah. Dan yang menyandar di tembok akan membuang puntung rokoknya. Sementara saya masih asik mendengar sembari menikmati tiap butir nikotin yang terkandung di dalamnya.

Kemudian ada suara lain dari lantai seberang. Pembicaraannya tentang wawancara. Saya dengar sedikit. Sedikit tak mengerti maksud saya. ”Ah dia sih emang begitu. Kalau di wawancarai nggak nyambung!” Ah ternyata soal wawancara..

Belum lagi saya habis mendengar. Teman saya yang sempat meludah, bangkit dan bilang: ”gue duluan, masih mau ngetik.” yang lain langsung mengangguk.

Hanya sejenak. Sejenak sebelum akhirnya genderang perang di tabuh. Ejek mengejek di mulai. ”Heh bibir lo panjang bener. Kalo ciuman, pasti dari jarak 10 senti udah kena ya.” Tawa kemenangan! Menang KO!

Dan yang di ejek, yang bibirnya paling panjang di seantero kantor itu selalu tak mau kalah. Dia bilang: ”Diam kau. Gendut. Babi air!” Hingga malam pun kian larut, dan dingin tak bisa lagi menahan tawa bahak-bahak kami.

Yang jelas, acap kali begitu. Di tangga darurat. Membuat suasana di sana selalu hangat dan tak pernah membuat saya bosan.

Seorang fotografer kantor saya pernah menuding tangga darurat kantor kami, sebagai tangga curhat! Curahan hati. Tak peduli tawa pilu senang duka. Tumpah ruah di sana. Saya pun setuju jika dikatakan demikian.

Saya jadi ingat. Belakangan saya sempat hitung jumlah anak tangga kantor. Di mulai dari anak tangga pertama ruangan redaksi saya. Dari lantai sembilan! Jumlahnya? Jumlahnya 120 anak tangga.

Terkadang saya memang sinting sendiri. Demi tulisan berjudul tangga darurat, yang entah ada atau tidak pembacanya ini. Saya rela menghitung jumlah anak tangga kantor saya. Tapi menulis itu butuh data yang akurat! Dan keakuratan berapa jumlah anak tangga dari lantai sembilan ruang redaksi, hanya bisa di dapat setelah di hitung sendiri. Toh hitungnya tak pakai rumus. Dan mungkin. Dan mungkin sebelum saya posting tulisan ini. Hanya saya dan tukang bangunannya yang tau berapa jumlah anak tangga itu. Edan!

Tangga darurat. Hmm. Sering kali diludahi, sampahi, kentuti. Tangga darurat si saksi bisu! Saksi yang melebihi kamera CCTV di manapun di dunia ini! Saksi yang melebihi Rani Juliani dalam kasus Antasari bahkan! Tangga darurat yang pernah menyelamatkan rasa was-was saya beserta seluruh penghuni kantor, kala gempa Yogya dan Ujung Kulon turut melanda Jakarta.

Dan mulai detik ini. Bahagialah kalian yang kantornya punya tangga darurat! Datanglah kesana bergerombol-gerombol, duyun-duyun. Merokoklah sebatang dua batang. Dan sedikitlah bercerita. RJ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar