Jumat, 04 Desember 2009

Workingclass Hero

Dalam postingan saya kali ini, saya mencoba agak lebih serius. Sedikit. Sedikit saja. Semoga membuka mata kita semua.

SAYA ini bukan apa-apa, hanya seorang wartawan olahraga ingusan. Pekerjaan ini kadang membosankan. Meliput peristiwa. Menulisnya menjadi berita kaya makna, informasi. Setiap hari.

Pekerjaan ini membawa saya kepada tanggung jawab moral untuk memberikan informasi seluas-luasnya pada khalayak ramai. Saya merasa lelah. Letih. Tenaga, pikiran saya kuras habis. Namun dibalik semua itu. Saya merasa bangga. Dan kebanggaan itu tak pernah bisa dibeli.

Saya meliput kepulangan Eko, atlet angkat besi (bekas penggembala kambing), yang meraih emas di Korea. Saya bangga. Saya meliput pelepasan atlet karateka Indonesia ke Sea Games. Saya bangga. Saya pernah melihat orang membeli koran, tempat saya bekerja, dan dia membaca berita yang saya tulis. Saya bangga. Dan saya adalah orang pertama dikeluarga besar saya, yang menjadi wartawan. Saya bangga!

Namun kebanggaan itu terkadang penuh tatap sinis kawan! Saya lupa sudah berapa kali. Tapi yang terakhir waktu saya meliput pelepasan atlet karateka ke Sea Games, Laos.

Bekal saya sama seperti tempo-tempo hari. Saya kenakan kaos. Gambarnya cukup band Ramones. Jeans butut, seminggu belum di cuci. Sebuah memo, saya kantongi di kantong belakang. Pulpen di kantong depan. Handphone saya selalu dalam posisi stand by merekam. Dan tentunya sepatu canvas merek converse yang telah melanglangbuana bersama saya mengarungi turnamen demi turnamen olahraga. Dan hampir terlupakan, tas selempang hitam merek Consina, yang kantongnya banyak dan tahan air. Lebih dari itu, saya bukan apa-apa.

Kalian tahu ketika gaya liputan saya (yang saya jabarkan di atas) itu dibawa ke hotel bintang lima? Jawabannya adalah tatapan sinis dari petugas lobi hotel, interogasi kasar dari satpam-satpam hotel, dan bahkan jawaban memilukan dari pelayan hotel. Karena saya tetap akan menjadi saya, maka saya tidak akan pernah kapok!

Saya juga tidak pernah marah. Saya anggap angin lalu saja. Mungkin bagi mereka, gaya berpakaian saya hanya pantas di bawa ke pasar malam. Menyedihkan! Tapi ya begitulah adanya.

Toh biasanya, tatapan sinis mereka berubah menjadi senyum dan ’sok kenal sok dekat’, saat mereka menyadari saya adalah wartawan. Saya kadang menilai mereka sebagai penjilat. Tapi peduli amat. Yang saya perlukan hanyalah liputan dan membuat berita. Itu saja. Selesai perkara.

Setiap pekerjaan memberikan kebanggaannya sendiri. Setiap pekerjaan mempunyai peranannya sendiri di masyarakat. Semua pekerjaan itu penting. Jadi saya tidak pernah mengganggap profesi tertentu itu rendahan, terlebih menjijikan. Kuli, pembantu, tukang cuci, tukang parkir dan segala macam pekerjaan level terbawah, mempunyai peranan vital yang signifikan bagi kehidupan kita. Begitu juga halnya dengan pekerjaan-pekerjaan level menengah ke atas. Saya berjanji, akan terus berusaha menghargai mereka semua. Mereka kan para pekerja-pekerja handal. :) RJ

1 komentar: